Salam Cinta dari Sang Penggugat Jiwa
Malam ini aku termenung dipojok pintu
dengan cahaya rembulan yang sendu, termenung diriku dalam perasaan yang tak
menentu, malam pun tak seperti biasanya bintang seolah malas untuk menunjukan
sinarnya malam ini. mataku terperangai oleh gelapnya malam itu, pikiranku
melayang entah kemana, terbang jauh menembus dimensi lain. “ada apa dengan
diriku saat ini, aku seolah kehilangan cahaya yang selalu membuatku kuat akan
menjalani hidupku” bisikku dalam hati yang tak lagi menentu mengikat dalam diri.
Dalam diriku saat ini sulit untuk
merasakan cinta yang telah diberikan oleh Tuhan, entah yang hanya bisa
terdengar malam ini suara binatang malam dengan nyanyian khasnya mengisi
kekosongan hati yang telah pergi melayang menembus awan. Aku rasa hati ini
makin lama seolah makin tak tentram dan tak terkendali. Sebuah pena dan kertas
menjadi pelampiasan kekesalanku pada hati yang seolah telah hilang dari cinta
Tuhannya.
Wahai
diriku
Sadarlah
engkau dari mimpimu
Tahukah
engkau kemana kita harus melangkah..
Jalan
ini terasa jauh
Dan
hanya kebingungan yang kita temui
Seperti
jalan yang kita tempuh Itu buntu
Kemana
kah cahaya hatiku…
Cahaya
yang dulu selalu menunjukan arah Jalan kita..
Ternyata
sedikit demi sedikit
Telah
hilang dan memudar..
Entah
kemana aku harus menemukan
CahayaMu
itu kembali kepada hati ini..
Ku tuliskan semua keresahan yang melanda,
pena pun mulai berjalan diatas kertas seolah tahu apa yang hendak aku tulis,
tanganpun seolah lirih mengikuti arah pena itu. Aku tak tahu kepada siapa seharusnya aku menyampaikan semua kegundahan
ini. Satu pesan Wa masuk dari teman satu organisasiku, dan aku lihat ternyata
sudah larut malam. “Astagfirullaah, waktu ternyata sudah pukul 00.00 WIB,
ternyata aku belum melaksanakan sholat Isa” bisikku dalam hati dan langsung
bergegas mengambil wudhu.
Dalam sholat, diriku berharap ada cahaya
dalam hati yang bisa menyejukan dan menentramkan diri ini, tak henti-hentinya
aku berdoa dan bermunajat kepada sang pemilik jiwa. Kegundahan hati serasa
telah membutakan mata dan hati, tubuh ini seolah menolak untuk beranjak dari
tempat sholat. Tak terasa airmataku perlahan jatuh dan membasahi tubuh. Aku
serahkan semua jiwa dan ragaku kembali pada sang pencipta, seorang hamba yang
dzalim ini sekarang mencari dan meminta belaskasihan dari-Mu. Diri ini bagaikan
seorang pengemis yang bagaikan seorang Raja yang sombong, angkuh dan lupa diri
ketika berada diatas nikmat-Nya dan kembali menjadi seorang pengemis yang penuh
dengan penderitaan hidup yang merngharapkan
dan memaksa-Nya untuk memberikan sentuhan cinta dan belaskasihan
dari-Nya.
“Oh
hati, sadarkah kamu telah menjadi aktor profesional yang bisa menjadi
beribu-ribu karakter di panggung sandiwara kapanpun dan dimanapun yang kamu
sukai” bisikku dalam sebercik doa dan airmata. Setelah menyelesaikan urusanku
kepada Tuhan, aku pun mulai merebahkan tubuhku yang seakan tak mau lagi diajak
diskusi. Aku pun mulai memanjatkan doa tidur, berharap Tuhan mau menjawab semua kegelisahan ini.
Entah mengapa langit menjadi gelap dan
berwarna merah pekat, apa yang sedang terjadi, dua teman ku berada dalam
bayang-bayang langit yang seolah-olah sedang murka kepada penduduk bumi. Mataku
terpanah dengan sesosok makhluk yang membuat getir tubuh dan lidahku keluh. Tubuhnya
tinggi menjulang ke langit, wajahnya tak bisa ku lihat dengan jelas, tubuhnya
tertutup jubah hitam yang membuat tubuh ini bergetar hebat melihat makhluk itu.
Tanpa disadari makhluk itu menghampiriku dan tubuhku seakan sulit untuk
bergerak, aku hanya bisa menangis dan meminta tolong kepada 2 orang temanku
yang sedang berdiri di sebrang jalan rumahku. “awas Hanaf, itu adalah malaikat
Izroil yang akan mencabut nyawamu” terdengar suara temanku yang berdiri di
sebrang jalan yang membuatku makin mati rasa dan hanya mampu menangis dan
pasrah. Aku mencoba untuk lari hanya kegelapan yang aku temui dan aku
tersungkur ke tanah, “jangan...jangan ambil nyawaku, berikan aku kesempatan
untuk hidup kembali” ujarku kepada makhluk itu. Makhluk itu tidak menyentuh ku,
dia hanya berdiri tepat di belakangku, seolah menyampaikan salam peringatan
kepada diriku. “awas Hanaf, malaikat itu menunggumu di belakang tubuhmu” suara
temanku terdengar lagi, namun mataku tak mampu memalingkan ke arah datangnya
suara itu.
“Allah....” aku pun terbangun dari
tidurku, dengan airmata yang jatuh di pipiku. Hati seakan berhenti, lidahku tak
bisa berbicara satu kalimat pun dan tubuhku seakan lemah tak berdaya untuk
beberapa saat mendapatkan salam cinta dari makhluk yang baru pertama kali aku lihat.
“alhamdulillah..ternyata hanya mimpi” bisikku dalam hati.
Aku langsung menatap kearah jam dinding
yang ternyata menunjukkan pukul 03.00 WIB, dengan kondisi yang belum sepenuhnya
akupun bergegas untuk mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat tahajud agar
keadaan ku menjadi lebih tenang dan tentram dengan apa yang baru saja aku
alami. Dalam sholatku terbayang kembali bagaimana mimpi itu terjadi secara
nyata, sulit sekali rasanya untuk melakukan sholat secara khusu sedangkan hati
masih dihantui bayangan mimpi yang seakan menari-neri dalam sholat.
Malam yang sunyi hanya di hiasi sebilah
lampu sebagai penerangan, akupun tersungkur dalam sajadah, menangis
tersedu-sedu, meminta agar Tuhan mau memaafkan dosa-dosaku dan berharap Tuhan
mau memberikan sedikit saja cinta-Nya kembali untukku. Seluruh tubuhku bak
kapal yang terhantam batu karang dan terhempas badai ombak, terombang-ambing
seakan kapal itu akan hancur dan tenggelam di dasar lautan.
Mimpi itu seakan mengingatkanku kembali
bahwa kematian akan datang secara tiba-tiba dan tanpa basa-basi. Entah ada
pertanda apakah yang akan terjadi pada diriku di kemudian hari, aku tak bisa
menafsirkannya. Salam cinta itu sekan telah meruntuhkan semangat petarungku,
aku seperti pujangga yang kehilangan cintaku untuk terus melangkah dan membuat
syair-syair indah yang bisa menaklukan semua wanita. salam cinta yang biasanya
selalu indah kali ini berubah menjadi air mata, ketakutan yang dahsyat. Bukan
mawar merah yang aku terima melainkan mawar hitam yang aku terima dari sang
penggugat jiwa.
***