Kiai Haji Sochari adalah seorang pejuang
kemerdekaan dan merupakan santri angkatan pertama yang dididik langsung oleh
Brigjend. Kiai Haji Syam’un, ia lahir tahun 1889 di Desa Pipitan,
Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Ayah Kiai Haji
Sohari bernama Kiai Haji Aliyudin atau lebih dikenal
dengan sebutan Kiai Haji Ali, merupakan
pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Salafiyyah Darussalam yang didirikan pada
tahun 1917 di Pipitan. Sedangkan ibunya bernama Nyai Marni.
Dalam garis
keluarga posisi Kiai Haji Sochari merupakan anak nomor ke-3 dari 7 bersaudara
dan ia memiliki 6 saudara tiri dari istri kedua ayahnya, bernama Nyai Marwi. Berikut
adalah daftar nama saudara Kiai Haji Sochari dari garis ibu
kandung dan ibu tirinya:
Nyai
Marni
Nyai Marwi
1.
Abdul Malik 1. Abdul
Mu’in
2.
Haji Arsyad 2.
Kiai Halimi
3.
Kiai Haji Sochari 3. Abdul Halim
4.
Haji Abdul Haq 4. Wirgani
5.
Abdussyukur 5. Nyai
Syu’ara
6.
Haji A Hadi 6.
Nyai Tura
7.
Kiai Haji Mujtaba Ali
Pada masa mudanya Kiai Haji Sochari
mendapatkan pendidikan agama, tauhid, aqidah dan akhlaq dari kedua orang tuanya. Selain itu dalam
perkembangannya ia belajar ke beberapa pesantren yang ada di Banten,
diantaranya di daerah Laes arah Carenang, pesantren di daerah Cikaduen, dan
belajar di Madrasah Al-khairiyah Citangkil sebagai murid angkatan pertama Kiai Haji
Sjam’un.
Setelah Brigjend. Kiai Haji Syam’un pergi haji pada tahun
1923, Kiai Haji Sochari kembali ke kampung halamannya untuk membantu ayahnya di
pesantren. Beliau juga mendirikan Madrasah
Al-Khairiyah di Desa Pipitan yang merupakan cabang ketiga Al-Khairiyah setelah
Citangkil dan Delingseng. Di samping sebagai pengasuh pesantren, Kiai Haji
Sochari juga dikenal sebagai mubalig yang ulung dalam berpidato. Sehingga
setiap kali memberikan ceramah, pendengarnya menyimak dengan antusias dan
seksama. Gaya bicaranya yang sejuk diselingi guyonan yang kocak, ceramahnya
dapat menghibur semua kalangan.
Kelebihan
lain dari Kiai Haji Sochari adalah keluhuran ahlaknya. Dengan tutur kata lembut
Kiai Haji Sochari dikenal sebagai sosok ulama yang pandai bergaul, Dalam
bergaul ia tidak pernah memandang latar belakang seseorang. wajar saja jika Ia
bisa menjalin hubungan baik dengan kelompok NU, Muhamadiyah, Jawara bahkan PKI
sekalipun.
Dalam Rumah tangganya Kiai
Haji Sochari menikah sebanyak 3 kali dan dikaruniai 14 orang anak,
berikut daftar nama istri dan anak Kiai
Haji Sochari :
- Nyai Suti (Pipitan)
1.
Sayuti
2.
Mansur
3.
Asiyah
4.
Syihabbuddim
5.
Abu darda
6.
Ma’mun
- Ibu Sabihah
1.
Bahrul ulum
2.
Syauqi
3.
Maryam
4.
Shidqi
5.
Yayah
6.
Enong malihah
7.
Marzuki
C.
Ibu Duriyah (Ampel)
1.
K. H. Sanggiti
Kiai
Haji Sochari
memiliki kiprah penting di masyarakat. Selain mengabdikan diri pada dunia
pendidikan, ia juga menjadi penerus ayahnya dalam mengelola pesantren.
Sepulangnya dari menuntut ilmu di Al-Khairiyah Citangkil ia mulai memberikan
sentuhan pembaharuan bagi pesantren Darussalam, yang dahulu hanyalah sebuah
pesantren salafiyah berubah hingga memiliki beberapa lembaga pendidikan. Yakni,
berupa Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Pada tahun 1931 Pesantren
Darussalam bergabung dengan Al-Khairiyah. Hal ini tak lepas dari peran yang
dimainkan Kiai Haji Sochari untuk memajukan dunia
pendidikan Islam di tanah Banten.
Pada
tahun 1945, pasca kemerdekaan, karena keluhuran akhlaknya dan kecerdasan
sosialnya, Kiai Haji Sochari diangkat menjadi wedana Ciruas oleh gurunya Kiai
Haji Syam’un selaku Bupati Serang dan ia menjabat sampai pada tahun 1949.
Ketika menjabat sebagai wedana, Kiai Haji Sochari sangat dekat dengan rakyat.
Setiap lebaran tiba, Kiai kelahiran 1889 ini selalu membelikan kebutuhan untuk
masyarakat, mulai dari pakaian hingga makanan. Bahkan sebagai wedana beliau
mendapatkan delman sebagai inventaris, selain kendaraan tersebut dipakai untuk
keperluan pemerintah, beliau juga tidak pernah sungkan-sungkan mengajak
rakyatnya naik jika berpapasan di tengah jalan. Sebagai ulama sekaligus
pemimpin, Kebijakan-kebijakan yang ia ambil selalu memperhatikan aspirasi
masyarakat bawah. Hal ini dilakukan karena ia sangat mendambakan kepemimpinan
Rasulullah dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada peristiwa agresi militer Belanda
yang ke-2 Kiai Haji Sochari terlibat langsung dalam revolusi fisik perang
melawan penjajah Belanda dengan
cara bergerilya dan bertahan di Kampung Simanjangan Gunung, Taktakan. Dalam aksinya Kiai Haji Sochari
selalu menyempatkan berdakwah, yang isinya ditunjukkan untuk mengobarkan
semangat jihad melawan kaum kafir. Karena ceramahnya ini, ia dianggap ulama
berbahaya dan menjadi buronan yang paling dicari pasukan Belanda. Dalam
pencariannya itu Kiai Haji Sochari tak
kunjung berhasil ditangkap, dan sebagai gantinya Kiai Haji Ali ditangkap oleh
pasukan Belanda, kemudian dieksekusi mati di kali Bedeng Ciruas dengan cara ditembak.
Setelah kematian ayahnya, Kiai Haji
Sochari lah yang mengurus Yayasan sampai meninggalnya pada
tahun 1969.
Sumber
Wawancara
dengan Drs. Ofa Mustofa, cucu K.H. Sochari, pada 25 September 2017 di Pipitan.
Alhamdulillaah...bila perlu silsilahnya lebih detil lagi agar masyarakat lebih mengenal lagi tokoh2 setempat...
BalasHapusKh.ali itu meninggal di mala makah bkn di bedeng ciruas. Yg meninggal di ciruas ki muhammad kakeknya kg ofa dan mantunya ki muhammad namanya ki mukri anaknya ki arjaya
BalasHapusAnaknya ny sati h.saman istrinya kh sochari ali darda bukan abu darda
BalasHapusTerimakasih mas, itu typo seperti nya. Terimakasih masukannya
HapusAnak kh ali dari marwi masih kurang.1. Abdl muti 2. Abdl muin 3. Halimi 4. Mirghani 5. Abdl Halim 6. Ny Assuara 7. Ny Astura
BalasHapusTerimakasih masukannya, insyaallah akan diperbaiki
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus