Selasa, 14 Mei 2019

BUKU SEBAGAI PEMECAH MASALAH UNTUK MENULIS


BUKU SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAH MASALAH UNTUK MENULIS
Oleh
AMI NAZZAM
Buku merupakan salah satu media untuk memberikan pengetahuan dan informasi kepada orang lain yang membacanya. Sebuah buku mampu menggambarkan seseorangan dan menggambarkan selekta peristiwa dalam rangkaian sejarah kehidupan. Hal ini bisa dilihat dengan bagaimana orang akan mendapatkan pengetahuan luas dan informasi ketika membaca buku, tak jarang orang itu di buat sangat bodoh ketika selesai membaca buku, karena terlalu banyak informasi dan ilmu tentang dunia yang belum diketahui.
Sebuah buku lahir akibat perkembangan kebutuhan manusia terhadap infromasi dan komunikasi, serta kemampuan daya pikir manusia yang terbilang terbatas. Di zaman kuno, informasi berupa syair-syair dan doa-doa hanya disampaikan melalui lisan, hal ini yang membuat manusia pada saat itu hanya mengandalkan tradisi lisan untuk menyampaikan sebuah informasi secara turun-menurun, metode yang dilakukan pada masa ini yaitu metode menghafal. Dengan banyaknya informasi yang berkembang dan kapasitas daya ingat kita yang terbatas, sehingga manusia harus menggunakan metode lain sebagai cara untuk mengingat sebuah informasi dan ilmu pengetahuan. Sehingga akhirnya mereka mencari cara untuk menuangkan beragam informasi ini melalui tulisan dan gambar. Hal ini seperti yang telah terjadi pada zaman kuna, dimana para ilmuan berhasil menemukan berbagai informasi manusia purba melalui tulisan dan gambar yang terdapat pada dinding-dinding goa yang pernah mereka singgahi.
Tulisan demi tulisan yang awalnya ditorehkan di atas bebatuan dan tulang-belulang ini kemudian semakin mengalami kemajuan yang sangat pesat, ketika manusia mengenal kertas.  Konon, kertas pertama kali dibuat dari bahan bambu pada tahun 200 Sebelum Masehi oleh Tsai Lun, seorang berkebangsaan Cina. Pada perkembangan Selanjurnya, orang Tiongkok berhasil menemukan cara mencetak huruf-huruf di atas kertas oleh seorang pandai besi yang bernama Bi Sheng membuat cap huruf-huruf Tionghoa dari tanah liat, membakarnya sampai kereas, kemudian menempelkannya ke pelat besi, membubuhkan tinta, dan menempelkan kertas ke cap bertinta, sehingga bisa membuat banyak salinan.
Pada perkembangan selanjutnya, tapatnya lima abad kemudian Johannes Gutenberg-lah yang telah berjasa menemukan percetakan pada tahun 1450an dan mencetak buku pertama kali di Eropa. Dari sini, revolusi dalam dunia tulis menulis bermula. Berkat Gutenberg, buku-buku lebih cepat tercetak dalam jumlah yang besar.
Di Era modern sekarang, buku mulai semakin berkembang dalam variatif bentuknya yang berbeda-beda. Ilmu pengetahuan pun semakin muda disimpan dan di eksplor oleh manusia, jutaan buku tercetak setiap tahunnya, belum lagi sekarang perkembangan teknologi yang makin mempermudah akses manusia untuk mendapatkan buku, hal ini bisa dilihat dari banyaknya buku elektronik atau Ebook yang telah beredar secara meluas di Internet.
Namun Ironisnya, animo masyarakat terhadap buku tidak sejalan dengan melimpahnya ketersediaan buku. Di beberapa kota yang ada di Indonesia, toko-toko buku harus gulung tikar karena sepinya pembeli, hal ini dikarenakan minimnya minat baca yang terjadi di kalangan masyarakat saat ini, sehingga membuat mereka harus ketinggalan informasi dan pengetahuan dari masyarakat eropa.
Peristiwa ini pun harus terjadi dikalangan para pelajar atau mahasiswa saat ini, di mana banyak mahasiswa yang kesulitan untuk membuat tulisan atau membuat hasil karya ilmiah (Skripsi) untuk tugas mahasiswa akhir. Para mahasiswa sering kali hanya terfokus pada judul skripsi yang akan mereka buat, namun ketika judul skripsi atau tulisan sudah diperoleh, mereka seperti kehilangan akal untuk menuliskannya.
Kesulitan yang dirasakan oleh mahasiswa akhir dalam membuat tulisa karya ilmiah atau skripsi ini diakibatkan dari minimnya informasi dan pengetahuan yang didapatkan oleh mahasiwa tersebut, sehingga mereka tidak bisa melakukan analisis kritis untuk menyelesaikan permasalah dalam karya tulisa tersebut. Salah satu yang menjadi faktornya adalah minimnya bahan bacaan yang dilakuakan oleh setiap mahasiswa, sehingga membuat mereka sering mengalami kesulitan dan kebingungan ketika tulisan sudah sampai setengah baris.
Di era Revolusi Industri 4.0 saat ini, mahasiswa lebih tertarik membaca status Facebook, WA, atau Instagram, dan Youtube, daripada membaca buku atau Ebook yang merupakan bagian terpenting untuk mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan. Mahasiwa pun lebih aktif menulis status di Facebook, WA atau Instagram dari pada menulis di blog atau jurnal. Padahal syarat untuk memecahkan masalah dalam menulis karya ilmiah terletak dari seberapa banyak orang tersebut membaca buku, karena dengan membaca buku pengetahuan kita akan bertambah dan wawasan pun menjadi luas, sehingga ketika mahasiswa menulis suatu permasyalahan mereka dapat mengembangkan tulisan mereka dari ilmu yang mereka dapatkan di buku.
Oleh karena itu perlu upaya  serius yang harus dilakuakan oleh masyarakat, khusunya para pelajar agar bisa cinta terhadap buku, karena dengan buku masyarakat dan pelajar dapat tercerahkan dan mendapatkan wawasan yang luas, serta mempermudah  masyarakat dan pelajar dalam melakukan penulisan karya ilmiah atau skripsi yang menjadi ancaman terberat bagi para mahasiswa sekarang ini.   

Selasa, 23 April 2019

Identitas Politik Masyarakat Adat



IDENTITAS POLITIK MASYARAKAT ADAT

Oleh
AMI Nazzam 

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, oleh karena itu manusia butuh interaksi dan bantuan antar sesama. Setiap individu pasti menginginkan kesejahteraan, yang bisa didapatkan dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam kehidupan pasti tidak seluruh posisi bisa ditempati oleh setiap individu, maka dari itu terdapat persaingan menuju kesejahteraan, dalam hal ini kegiatan itu berubah menjadi sebuah tujuan dasar yang hendak dicapai oleh setiap individu.
Namun usaha untuk menduduki suatu posisi agar dapat memiliki kewenangan dalam menata sebuah sistem Negara untuk mewujudkan kepentingan serta cita-cita tertentu, hal itu yang dinamakan sebuah kegiatan dari politik. Sederhananya, politik dapat ditemukan dalam berbagai unsur dan tingkatan di keseharian masyarakat di berbagai daerah.
Menurut Andrey Heywood, politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang berarti tidak dapat dilepaskan dari gejala konflik dan kerjasama.  Dengan kata lain, masing-masing kelompok saling mempengaruhi agar suatu keputusan public yang disepakati sesuai kepentingan kelompok tertentu.
Berbicara mengenai politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini, tidak akan pernah ada habisnya untuk diperbincangkan, mulai dari kalangan tua sampai kalangan muda. Hal ini dikarenakan kegiatan politik merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh individu atau kelompok untuk menguasai sebuah wilayah atau Negara. Berbicara mengenai politik tidak hanya ramai diperbincangkan di kalangan elit politik, namun juga telah menjalar dikalangan masyarakat bawah. Situasi ini semakin memanas menjelang perhelatan pemilihan presiden, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019. Di mana banyak terjadi konflik dan perdebatan dikalangan masyarakat akibat politik.
Konflik sosial yang terjadi antar individu dan kelompok diakibatkan oleh perbedaan pilihan politik, hal ini yang menimbulkan dampak negatif dikalangan masyarakat. Akibat perbedaan pilihan politik, tidak sedikit masyarakat yang saling mencaci maki dan saling melontarkan ujaran kebencian mulai antar individu sampai kelompok. Sosial media pun ramai dengan ujaran kebencian yang dilontarkan dari para pendukung partai. situasi ini yang akhirnya menimbulkan ketegangan dikalangan masyarakat, sampai ada masyarakat yang tega memindahkan jenazah yang telah lama dimakamkan dan memutup jalan dengan semen dan batu bata, hanya gara-gara berbeda pilihan politik.
Di Banten, konflik sosial dikalangan masyarakat tidak begitu terlihat secara langsung, namun lebih banyak terlihat di media sosial, seperti Whatsapp, FaceBook, dan Instagram. Perdebatan dan konflik yang terjadi di medsos, mulai dari kalimat dukungan sampai saling mencaci maki antar individu dan kelompok terjadi disetiap harinya. Hal ini bisa kita lihat dari status dan komentar dari para pengguna medsos, yang tidak henti-hentinya membahas politik dan calon presiden. Situasi yang semakin memanas antar kelompok ini lah yang menjadi interaksi antar individu dan kelompok menjadi tersendat dan tidak berjalan dengan baik, akibat saling berbeda pendapat mengenai calon pilihan politik.
Menjelang Pilpres 2019, tidak hanya masyarakat dan elit politik saja yang terlibat dalam perdebatan yang memanas, namun hal ini juga terjadi di kalangan ulama dan santri, mereka pun tidak jarang terlibat konflik antar ulama yang saling berbeda pilihan politik. Sehingga tidak sedikit ulama yang ikut terlibat dalam dunia politik dan menjadi TKN calon presiden dan wakil presiden. Para ulama yang tergabung kedalam TKN calon presiden, tidak jarang menyisipkan pesan politik untuk memilih calon presiden di setiap menjalankan dakwahnya, hal ini yang membuat persaingan semakin menarik, karena kegiatan politik ini tidak hanya disajikan ke panggung politik saja, tetapi mulai menjalar ke panggung dakwah, hal ini yang dinyatakan oleh Samuel Hutingtong dalam karya fenomenal Benturan antar Peradaban, bahwa Islam lebih kaku, daripada Kristen, karena politik dan agama tidak bisa dipisahkan.
Demokrasi politik yang sedang terjadi di pentas demokrasi tahun ini lebih menonjolkan sebuah identintas, dimana dari kubu Capres 02 Prabowo-Sandi mulai menampakan identitas politik umat islam, karena mereka dipilih melalui ijtima ulama yang dilakukan oleh para sebagian ulama-ulama Indonesia. Para ulama menjadi terlibat aktif dalam pemilu kali ini, dimana dari mereka terlibat aktif dalam kampanye dan tim kemenangan salah satu calon presiden. Kedua Capres mulai memperebutkan suara ulama sebagai magnet untuk menarik simpati masyarakat umat muslim.
Di Indonesia politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideology dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili oleh para elit politik. Derakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari identitas politik itu. Isu-isu pun terus bermunculan di media sosial mulai dari keadilan, ekonomi, agama, korupsi dan pembangunan yang menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka.
Pesta demokrasi tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang berada di wilayah desa dan kota saja, namun juga dinikmati oleh masyarakat-masyarakat adat atau pedalaman yang hidupnya berada di daerah pegunungan, khusunya yang berada di wilayah Banten Selatan. Masyarakat Adat, seperti Baduy, Kasepuhan Citorek, Cisungsang, Cicarucub, Ciptagelar, dan lain-lain, telah masuk ke dalam DPT (Data Pemilih Tetap) sehingga memiliki hak untuk memilih anggota legislatif dan presiden.



SABAKI MENJADI AJANG POLITISASI 

Masyarakat adat merupakan sekelompok orang yang tinggal di wilayah pegunungan yang jauh dari interaksi soisal masyarakat perkotaan atau modern. Mereka tetap menjalankan berbagai ritual dan aturan-aturan adat sebagaimana yang telah disepakati bersama oleh para sesepuh atau ketua adat dan akan mendapat hukuman atau sanksi jika melanggar aturan tersebut. Sejumlah aktivitas masyarakat adat paling banyak dihabiskan untuk berinteraksi dengan alam, seperti berkebun dan bertani, tidak sedikit juga wanita adat yang menekuni kerajinan tangan yang memanfaatkan alam sekitar untuk membantu perekonomian keluarga, namun ada juga masyarakat adat yang telah mengenal dan memanfaatkan teknologi modern untuk keberlangsungan hidup, seperti HP, TV, dan Internet, sehingga mereka pun tidak buta teknologi dan mengetahui berita-berita yang berkembang di kalangan masyarakat luar adat (kota).
Walaupun tinggal di wilayah pegunungan, namun masyarakat adat banyak yang telah memeluk agama Islam, tanpa meninggalkan tradisi dan kebudayaan adat leluhurnya. Mereka pun masih melakukan beberapa ritual adat mereka, seperti ruatan bumi dan aturan-aturan adat lainnya. Tidak hanya itu masyarakat adatpun masih mengenakan pakaian dan ikat kepala yang menjadi identitas mereka; ketika ingin keluar rumah atau ke kota.
Masyarakat Adat kasepuhan yang berada di wilayah Jawa Barat telah membuat komunitas yang bernama Sabaki, yang merupakan wadah perkumpulan masyarakat kasepuhan yang berada di wilayah Jawa Barat, kecuali masyarakat Baduy, karena mereka masih menganut sistem kepercayaan Sunda Wiwitan, sehingga tidak tergabung ke dalam komunitas Sabaki. Anggota yang tergabung dalam komunitas Sabaki, merupakan kasepuhan atau masyarakat adat yang telah menganut ajaran Islam atau sering disebut sebagai Masyarakat Adat Muslim.
Sabaki merupakan ajang silaturahmi bagi masyarakat adat yang diselenggarakan 5 tahun sekali untuk menjaga solidaritas dan keharmonisan antar kasepuhan atau masyarakat adat yang berada di wilayah Jawa Barat. Kegiatan Sabaki dilaksanakan secara bergiliran di wilayah kasepuhan yang berbeda-beda; untuk tempat kegiatan Sabaki biasanya ditentukan melalui musyawarah antar kasepuhan adat yang berada di wilayah Jawa Barat.
Pada tahun 2019, Banten terpilih menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan kegiatan Sabaki, yang dilaksanakan di kasepuhan Citorek. Secara administrasi kasepuhan Citorek berada di wilayah Banten Kidul, tepatnya di Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak. Wilayah ini dikelilingi oleh Gunung Nasional yaitu Gunung Halimun Salak, yang berbatas dengan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat Dan Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Awalnya yang menjadi tuan rumah untuk kegiatan Sabaki adalah kasepuhan Cisungsang, namun karena adanya beberapa factor dan keputusan musyawarah, ditunjuklah kasepuhan Citorek sebagai tuan rumah untuk pelaksanaan kegiatan Sabaki.
Panitia pelaksana dalam kegiatan ini yang diwakilkan oleh Henri (Sekertaris Pelaksana) meminta kerjasama dengan Laboratorium Bantenologi untuk membantu mensukseskan kegiatan Sabaki yang diadakan di Citorek, hal ini dikarenakan para panitia yang bertanggung jawab dalam acara ini masih sangat minim pengetahuan mengenai konsep memegang sebuah event dan baru pertama kali mengadakan acara yang terbilang cukup besar, karena menghadirkan beberapa perwakilan masyarakat adat yang ada diwilayah Jawa Barat.
Kegiatan Sarasehan Sabaki diadakan selama tiga hari, dimulai dari tanggal 1 s/d 3 Maret 2019. Kegiatan ini dihadiri 2000 lebih peserta dari perwakilan kasepuhan yang ada di Jawa Barat, jumlah ini melebihi dari kouta yang disediakan oleh panitia Sabaki yang berjumlah 1.500 peserta. Hal ini membuat sebagian peserta tidak mendapatkan fasilitas ATK (Alat Tulis Kantor) dan makalah tentang materi yang dibahas dalam acara Sabaki; para peserta yang tidak mendapatkan fasilitas ATK ini merupakan peserta yang terlambat datang dan registrasi. Walaupun peserta sempat protes dan menanyakan terkait fasilitas tersebut, namun kegiatan Sabaki tetap berjalan lancar dan hidmat.
Dalam kegiatan Sabaki ini ada beberapa pokok masalah yang akan dibahas dalam kegiatan ini, diantaranya peraturan undang-undang tentang tanah masyarakat Adat yang berada di wilayah Banten Kidul. Para peserta dibagi beberapa kelompok untuk mengikuti materi-materi yang sudah di siapkan oleh para panitia dengan tema berbeda-beda, namun masih berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat Adat tersebut.  
Ada hal yang menarik dalam acara sarasehan masyarakat Adat Banten Kidul, pertama di sepanjang jalan desa Citorek terdapat beberapa atribut partai PDIP dan poster calon presiden Jokowi –Ma’ruf Amin dalam bentuk dukungan masyarakat Adat Banten Kidul kepada paslon no urut 01. Tidak hanya itu, wajah para Caleg pun mengiasi ruas-ruas jalan kasepuhan Citorek yang menjadi tempat berlangsungnya acara Sabaki; poster para Caleg pun kebanyakan berasal dari partai koalisi dari kubu 01, seperti Nasdem, PDIP, PPP, Perindo, Golkar dan PKB. Kedua, banyaknya kader PDIP yang terlibat dalam kegiatan Sabaki, mulai dari kepanitiaan sampai para Caleg yand datang ke acara Sabaki untuk meminta dukungan kepada seluruh masyarakat Adat yang tersebar di wilayah Jawa Barat.
Awalnya semua panitia dari Bantenologi tidak mengetahui bahwa kegiatan Sabaki ini ditunggangi oleh politik, acarapun berjalan dengan baik dan lancar, mereka pun sangat menikmati kegiatan tersebut, karena selain bisa menikmati liburan kuliah, mereka pun bisa menikmati keragamaan masyarakat adat bertemu dalam satu acara yang dihadiri oleh ribuan masyarakat Adat yang menggunakan ikat kepala yang berbeda-beda yang merupakan symbol dari identitas budaya.
 Namun acara Sabaki mulai terlihat keberpihakan kepada salah satu partai dan Presiden atau ditunggangi oleh politik, ketika dalam acara laporan hasil musyawarah yang dilakukan di panggung utama Sabaki Dalam acara tersebut terdapat beberapa Caleg yang berasal dari partai PDIP, Nasdem, Golkar dan Perindo yang menghadiri acara Sarasehan Sabaki. Para Caleg yang hadir dipersilahkan untuk memperkenalkan diri dan meminta doa serta dukungan kepada seluruh masyarakat adat agar pada tanggal 17 April 2019 masyarakat Adat memilih mereka. Setelah itu para Caleg diminta untuk berjanji kepada seluruh masyarakat adat yang hadir, jika mereka terpilih maka wajib untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat Adat khususnya yang berada di wilayah Banten Kidul.
Setelah melakukan kampanye politik praktis, mereka pun pamit untuk meninggalkan acara Sabaki, kemudian Sukanta, selaku ketua pelaksana dan kader PDIP, melanjutkan acara tersebut dengak ikrar bersama seluruh panitia Sabaki dan peserta Sarasehan Sabaki. Ikrar ini merupakan pembaiatan bahwa seluruh masyarakat Adat yang berada di wilayah Banten Kidul sepakat untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Ikrar tersebut tidak hanya disaksikan oleh peserta Sabaki saja, namun seluruh masyarakat Citorek dan panitia Bantenologi yang merupakan para mahasiswa UIN SMH Banten. Mengetahui acara Sabaki ditunggangi politik PDIP atau Capres 01, para Mahasiswa yang tergabung ke dalam Bantenologi merasa kecewa kepada panitia Sabaki, karena mereka seperti dibodohi oleh para elit politik yang berada di balik kegiatan budaya Sabaki tersebut.
Strategi politik yang dilakukan oleh kubu 01 atau PDIP untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat adat, sepertinya akan membuahkan hasil yang baik. Hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat adat merupakan orang yang memiliki ketaatan yang tinggi terhadap norma dan ketua adat, dimana mereka akan menuruti segala ucapan yang diberikan oleh ketua adat atau kasepuhan. Hal ini yang membuat masyarakat Adat jarang sekari terjadi konflik dan kesenggangan sosial antar individu atau kelompok, Sehingga ketika para pemangku adat menentukan satu suara untuk memberikan dukungan kepada salah satu calon, mereka semua akan mengikuti apa yang dipilih oleh ketua adat. Hal ini pun yang menjadi identitas politik masyarakat Adat yang patuh akan hasil musyawarah para pemangku atau ketua adat, mereka akan memilih calon pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan mereka. Hal ini seperti yang dilihat bahwa yang paling sering memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat Adat melalui Perda Adat berasal dari partai PDIP, hal ini yang membuat PDIP selalu mendapatkan suara tertinggi  di wilayah Banten Kidul dalam kontes demokrasi.
Acara Sabaki yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi antar kasepuhan yang berada di wilayah Banten Kidul, namun  dijadikan sebagai alat politik yang dilakukan oleh para elit untuk mendapatkan suara dalam Pemilu tahun 2019. Para elit politik pun sudah membuat strategi untuk mendekati para ketua adat agar dapat mendukung partai dengan berbagai janji yang ditawarkan oleh mereka, apabila terpilih menjadi anggota legislatif. Hal ini yang membuat acara Sabaki menjadi tidak menarik lagi untuk dinikmati sebagai ajang pertemuan antar budaya, akan tetapi sebagai ajang pertemuan elit politik. Seharusnya para elit politik tidak memanfaatkan acara Sabaki sebagai alat untuk melakukan politik praktis, karena yang mengerti tentang tujuan acara Sabaki ini, hanya para petinggi adat, sedangkan masyarakat adat biasa dan berusia lanjut tidak mengerti dan hanya mengikuti saja, tanpa mengetahui tujuan utama dalam acara tersebut.
Akibatnya acara Sarasehan Sabaki banyak mengalami hambatan dan masalah, salah satunya kegiatan yang tidak terkordinasi dengan baik oleh para panitia penyelenggara, karena sibuk mengurusi acara yang berada di panggung utama, sementara para peserta yang berada ditempatkan di luar panggung utama tidak diperhatikan, sehingga para peserta harus menunggu selama 2 jam untuk memulai acara musyawarah dan peraturan tanah adat, para peserta pun sempat ingin membubarkan diri dan menuju ke panggung utama. Panitia penanggung jawab acara di masing-masing tempat pun tidak terlihat, hal ini pun merupakan kesepakatan para panitia yang hanya memfokuskan acara ke panggung utama, sementara masyarakat adat yang tergabung ke dalam kelompok di luar panggung menjadi pelengkap saja. Hal ini yang kemudian membuat acara Sabaki berjalan tidak begitu baik, bukan hanya karena fasilitas peserta yang kurang akan tetapi para panitia Sabaki yang tidak berkontribusi dan terlibat aktif, sehingga membuat acara Sabaki menjadi terhambat.


Penggagasan Gerakan Rakyat Cilegon 1888

Haji Marjuki : Aktivis dan Penggagas Geger Cilegon Riwayat Hidup Haji Marjuki Marjuki adalah salah satu aktivis Geger Cilegon y...