IDENTITAS POLITIK MASYARAKAT ADAT
Oleh
AMI Nazzam
Manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, oleh karena itu
manusia butuh interaksi dan bantuan antar sesama. Setiap individu pasti
menginginkan kesejahteraan, yang bisa didapatkan dengan berbagai cara untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam kehidupan pasti tidak seluruh posisi
bisa ditempati oleh setiap individu, maka dari itu terdapat persaingan menuju
kesejahteraan, dalam hal ini kegiatan itu berubah menjadi sebuah tujuan dasar
yang hendak dicapai oleh setiap individu.
Namun
usaha untuk menduduki suatu posisi agar dapat memiliki kewenangan dalam menata
sebuah sistem Negara untuk mewujudkan kepentingan serta cita-cita tertentu, hal
itu yang dinamakan sebuah kegiatan dari politik. Sederhananya, politik dapat
ditemukan dalam berbagai unsur dan tingkatan di keseharian masyarakat di
berbagai daerah.
Menurut
Andrey Heywood, politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk
membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur
kehidupannya yang berarti tidak dapat dilepaskan dari gejala konflik dan
kerjasama. Dengan kata lain,
masing-masing kelompok saling mempengaruhi agar suatu keputusan public yang
disepakati sesuai kepentingan kelompok tertentu.
Berbicara
mengenai politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini, tidak akan pernah
ada habisnya untuk diperbincangkan, mulai dari kalangan tua sampai kalangan
muda. Hal ini dikarenakan kegiatan politik merupakan kegiatan yang sering
dilakukan oleh individu atau kelompok untuk menguasai sebuah wilayah atau
Negara. Berbicara mengenai politik tidak hanya ramai diperbincangkan di
kalangan elit politik, namun juga telah menjalar dikalangan masyarakat bawah. Situasi
ini semakin memanas menjelang perhelatan pemilihan presiden, yang akan dilaksanakan
pada tanggal 17 April 2019. Di mana banyak terjadi konflik dan perdebatan
dikalangan masyarakat akibat politik.
Konflik
sosial yang terjadi antar individu dan kelompok diakibatkan oleh perbedaan
pilihan politik, hal ini yang menimbulkan dampak negatif dikalangan masyarakat.
Akibat perbedaan pilihan politik, tidak sedikit masyarakat yang saling mencaci
maki dan saling melontarkan ujaran kebencian mulai antar individu sampai
kelompok. Sosial media pun ramai dengan ujaran kebencian yang dilontarkan dari
para pendukung partai. situasi ini yang akhirnya menimbulkan ketegangan
dikalangan masyarakat, sampai ada masyarakat yang tega memindahkan jenazah yang
telah lama dimakamkan dan memutup jalan dengan semen dan batu bata, hanya
gara-gara berbeda pilihan politik.
Di
Banten, konflik sosial dikalangan masyarakat tidak begitu terlihat secara
langsung, namun lebih banyak terlihat di media sosial, seperti Whatsapp,
FaceBook, dan Instagram. Perdebatan dan konflik yang terjadi di medsos, mulai
dari kalimat dukungan sampai saling mencaci maki antar individu dan kelompok
terjadi disetiap harinya. Hal ini bisa kita lihat dari status dan komentar dari
para pengguna medsos, yang tidak henti-hentinya membahas politik dan calon
presiden. Situasi yang semakin memanas antar kelompok ini lah yang menjadi
interaksi antar individu dan kelompok menjadi tersendat dan tidak berjalan
dengan baik, akibat saling berbeda pendapat mengenai calon pilihan politik.
Menjelang
Pilpres 2019, tidak hanya masyarakat dan elit politik saja yang terlibat dalam
perdebatan yang memanas, namun hal ini juga terjadi di kalangan ulama dan
santri, mereka pun tidak jarang terlibat konflik antar ulama yang saling
berbeda pilihan politik. Sehingga tidak sedikit ulama yang ikut terlibat dalam dunia
politik dan menjadi TKN calon presiden dan wakil presiden. Para ulama yang
tergabung kedalam TKN calon presiden, tidak jarang menyisipkan pesan politik
untuk memilih calon presiden di setiap menjalankan dakwahnya, hal ini yang
membuat persaingan semakin menarik, karena kegiatan politik ini tidak hanya disajikan
ke panggung politik saja, tetapi mulai menjalar ke panggung dakwah, hal ini
yang dinyatakan oleh Samuel Hutingtong dalam karya fenomenal Benturan antar
Peradaban, bahwa Islam lebih kaku, daripada Kristen, karena politik dan agama
tidak bisa dipisahkan.
Demokrasi
politik yang sedang terjadi di pentas demokrasi tahun ini lebih menonjolkan
sebuah identintas, dimana dari kubu Capres 02 Prabowo-Sandi mulai menampakan
identitas politik umat islam, karena mereka dipilih melalui ijtima ulama yang
dilakukan oleh para sebagian ulama-ulama Indonesia. Para ulama menjadi terlibat
aktif dalam pemilu kali ini, dimana dari mereka terlibat aktif dalam kampanye
dan tim kemenangan salah satu calon presiden. Kedua Capres mulai memperebutkan
suara ulama sebagai magnet untuk menarik simpati masyarakat umat muslim.
Di
Indonesia politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama,
ideology dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili oleh para elit politik.
Derakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari
identitas politik itu. Isu-isu pun terus bermunculan di media sosial mulai dari
keadilan, ekonomi, agama, korupsi dan pembangunan yang menjadi sangat sentral
dalam wacana politik mereka.
Pesta
demokrasi tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang berada di wilayah desa dan
kota saja, namun juga dinikmati oleh masyarakat-masyarakat adat atau pedalaman
yang hidupnya berada di daerah pegunungan, khusunya yang berada di wilayah
Banten Selatan. Masyarakat Adat, seperti Baduy, Kasepuhan Citorek, Cisungsang,
Cicarucub, Ciptagelar, dan lain-lain, telah masuk ke dalam DPT (Data Pemilih
Tetap) sehingga memiliki hak untuk memilih anggota legislatif dan presiden.
SABAKI MENJADI AJANG POLITISASI
Masyarakat
adat merupakan sekelompok orang yang tinggal di wilayah pegunungan yang jauh
dari interaksi soisal masyarakat perkotaan atau modern. Mereka tetap
menjalankan berbagai ritual dan aturan-aturan adat sebagaimana yang telah
disepakati bersama oleh para sesepuh atau ketua adat dan akan mendapat hukuman
atau sanksi jika melanggar aturan tersebut. Sejumlah aktivitas masyarakat adat
paling banyak dihabiskan untuk berinteraksi dengan alam, seperti berkebun dan
bertani, tidak sedikit juga wanita adat yang menekuni kerajinan tangan yang memanfaatkan
alam sekitar untuk membantu perekonomian keluarga, namun ada juga masyarakat
adat yang telah mengenal dan memanfaatkan teknologi modern untuk
keberlangsungan hidup, seperti HP, TV, dan Internet, sehingga mereka pun tidak
buta teknologi dan mengetahui berita-berita yang berkembang di kalangan
masyarakat luar adat (kota).
Walaupun
tinggal di wilayah pegunungan, namun masyarakat adat banyak yang telah memeluk
agama Islam, tanpa meninggalkan tradisi dan kebudayaan adat leluhurnya. Mereka
pun masih melakukan beberapa ritual adat mereka, seperti ruatan bumi dan
aturan-aturan adat lainnya. Tidak hanya itu masyarakat adatpun masih mengenakan
pakaian dan ikat kepala yang menjadi identitas mereka; ketika ingin keluar
rumah atau ke kota.
Masyarakat
Adat kasepuhan yang berada di wilayah Jawa Barat telah membuat komunitas yang
bernama Sabaki, yang merupakan wadah perkumpulan masyarakat kasepuhan yang
berada di wilayah Jawa Barat, kecuali masyarakat Baduy, karena mereka masih
menganut sistem kepercayaan Sunda Wiwitan, sehingga tidak tergabung ke dalam
komunitas Sabaki. Anggota yang tergabung dalam komunitas Sabaki, merupakan
kasepuhan atau masyarakat adat yang telah menganut ajaran Islam atau sering
disebut sebagai Masyarakat Adat Muslim.
Sabaki
merupakan ajang silaturahmi bagi masyarakat adat yang diselenggarakan 5 tahun
sekali untuk menjaga solidaritas dan keharmonisan antar kasepuhan atau
masyarakat adat yang berada di wilayah Jawa Barat. Kegiatan Sabaki dilaksanakan
secara bergiliran di wilayah kasepuhan yang berbeda-beda; untuk tempat kegiatan
Sabaki biasanya ditentukan melalui musyawarah antar kasepuhan adat yang berada
di wilayah Jawa Barat.
Pada
tahun 2019, Banten terpilih menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan kegiatan
Sabaki, yang dilaksanakan di kasepuhan Citorek. Secara administrasi kasepuhan
Citorek berada di wilayah Banten Kidul, tepatnya di Kecamatan Cibeber Kabupaten
Lebak. Wilayah ini dikelilingi oleh Gunung Nasional yaitu Gunung Halimun Salak,
yang berbatas dengan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat Dan Kecamatan Sobang,
Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Awalnya yang menjadi tuan rumah untuk kegiatan
Sabaki adalah kasepuhan Cisungsang, namun karena adanya beberapa factor dan
keputusan musyawarah, ditunjuklah kasepuhan Citorek sebagai tuan rumah untuk pelaksanaan
kegiatan Sabaki.
Panitia
pelaksana dalam kegiatan ini yang diwakilkan oleh Henri (Sekertaris Pelaksana) meminta
kerjasama dengan Laboratorium Bantenologi untuk membantu mensukseskan kegiatan
Sabaki yang diadakan di Citorek, hal ini dikarenakan para panitia yang
bertanggung jawab dalam acara ini masih sangat minim pengetahuan mengenai
konsep memegang sebuah event dan baru pertama kali mengadakan acara yang
terbilang cukup besar, karena menghadirkan beberapa perwakilan masyarakat adat
yang ada diwilayah Jawa Barat.
Kegiatan
Sarasehan Sabaki diadakan selama tiga hari, dimulai dari tanggal 1 s/d 3 Maret
2019. Kegiatan ini dihadiri 2000 lebih peserta dari perwakilan kasepuhan yang
ada di Jawa Barat, jumlah ini melebihi dari kouta yang disediakan oleh panitia
Sabaki yang berjumlah 1.500 peserta. Hal ini membuat sebagian peserta tidak
mendapatkan fasilitas ATK (Alat Tulis Kantor) dan makalah tentang materi yang
dibahas dalam acara Sabaki; para peserta yang tidak mendapatkan fasilitas ATK
ini merupakan peserta yang terlambat datang dan registrasi. Walaupun peserta
sempat protes dan menanyakan terkait fasilitas tersebut, namun kegiatan Sabaki
tetap berjalan lancar dan hidmat.
Dalam
kegiatan Sabaki ini ada beberapa pokok masalah yang akan dibahas dalam kegiatan
ini, diantaranya peraturan undang-undang tentang tanah masyarakat Adat yang
berada di wilayah Banten Kidul. Para peserta dibagi beberapa kelompok untuk
mengikuti materi-materi yang sudah di siapkan oleh para panitia dengan tema
berbeda-beda, namun masih berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat Adat
tersebut.
Ada
hal yang menarik dalam acara sarasehan masyarakat Adat Banten Kidul, pertama di
sepanjang jalan desa Citorek terdapat beberapa atribut partai PDIP dan poster
calon presiden Jokowi –Ma’ruf Amin dalam bentuk dukungan masyarakat Adat Banten
Kidul kepada paslon no urut 01. Tidak hanya itu, wajah para Caleg pun mengiasi
ruas-ruas jalan kasepuhan Citorek yang menjadi tempat berlangsungnya acara
Sabaki; poster para Caleg pun kebanyakan berasal dari partai koalisi dari kubu
01, seperti Nasdem, PDIP, PPP, Perindo, Golkar dan PKB. Kedua, banyaknya kader
PDIP yang terlibat dalam kegiatan Sabaki, mulai dari kepanitiaan sampai para
Caleg yand datang ke acara Sabaki untuk meminta dukungan kepada seluruh masyarakat
Adat yang tersebar di wilayah Jawa Barat.
Awalnya
semua panitia dari Bantenologi tidak mengetahui bahwa kegiatan Sabaki ini
ditunggangi oleh politik, acarapun berjalan dengan baik dan lancar, mereka pun
sangat menikmati kegiatan tersebut, karena selain bisa menikmati liburan
kuliah, mereka pun bisa menikmati keragamaan masyarakat adat bertemu dalam satu
acara yang dihadiri oleh ribuan masyarakat Adat yang menggunakan ikat kepala
yang berbeda-beda yang merupakan symbol dari identitas budaya.
Namun acara Sabaki mulai terlihat keberpihakan
kepada salah satu partai dan Presiden atau ditunggangi oleh politik, ketika
dalam acara laporan hasil musyawarah yang dilakukan di panggung utama Sabaki
Dalam acara tersebut terdapat beberapa Caleg yang berasal dari partai PDIP,
Nasdem, Golkar dan Perindo yang menghadiri acara Sarasehan Sabaki. Para Caleg
yang hadir dipersilahkan untuk memperkenalkan diri dan meminta doa serta
dukungan kepada seluruh masyarakat adat agar pada tanggal 17 April 2019
masyarakat Adat memilih mereka. Setelah itu para Caleg diminta untuk berjanji
kepada seluruh masyarakat adat yang hadir, jika mereka terpilih maka wajib
untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat Adat khususnya yang
berada di wilayah Banten Kidul.
Setelah
melakukan kampanye politik praktis, mereka pun pamit untuk meninggalkan acara
Sabaki, kemudian Sukanta, selaku ketua pelaksana dan kader PDIP, melanjutkan
acara tersebut dengak ikrar bersama seluruh panitia Sabaki dan peserta
Sarasehan Sabaki. Ikrar ini merupakan pembaiatan bahwa seluruh masyarakat Adat
yang berada di wilayah Banten Kidul sepakat untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.
Ikrar tersebut tidak hanya disaksikan oleh peserta Sabaki saja, namun seluruh
masyarakat Citorek dan panitia Bantenologi yang merupakan para mahasiswa UIN
SMH Banten. Mengetahui acara Sabaki ditunggangi politik PDIP atau Capres 01,
para Mahasiswa yang tergabung ke dalam Bantenologi merasa kecewa kepada panitia
Sabaki, karena mereka seperti dibodohi oleh para elit politik yang berada di balik
kegiatan budaya Sabaki tersebut.
Strategi
politik yang dilakukan oleh kubu 01 atau PDIP untuk mendapatkan dukungan dari
masyarakat adat, sepertinya akan membuahkan hasil yang baik. Hal ini dapat
dilihat bahwa masyarakat adat merupakan orang yang memiliki ketaatan yang
tinggi terhadap norma dan ketua adat, dimana mereka akan menuruti segala ucapan
yang diberikan oleh ketua adat atau kasepuhan. Hal ini yang membuat masyarakat
Adat jarang sekari terjadi konflik dan kesenggangan sosial antar individu atau
kelompok, Sehingga ketika para pemangku adat menentukan satu suara untuk
memberikan dukungan kepada salah satu calon, mereka semua akan mengikuti apa
yang dipilih oleh ketua adat. Hal ini pun yang menjadi identitas politik
masyarakat Adat yang patuh akan hasil musyawarah para pemangku atau ketua adat,
mereka akan memilih calon pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan mereka.
Hal ini seperti yang dilihat bahwa yang paling sering memperjuangkan hak-hak
dan kesejahteraan masyarakat Adat melalui Perda Adat berasal dari partai PDIP,
hal ini yang membuat PDIP selalu mendapatkan suara tertinggi di wilayah Banten Kidul dalam kontes
demokrasi.
Acara
Sabaki yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi antar kasepuhan yang berada di
wilayah Banten Kidul, namun dijadikan sebagai alat
politik yang dilakukan oleh para elit untuk mendapatkan suara dalam Pemilu
tahun 2019. Para elit politik pun sudah membuat strategi untuk mendekati para ketua adat agar dapat
mendukung partai dengan berbagai janji yang ditawarkan oleh mereka, apabila
terpilih menjadi anggota legislatif. Hal ini yang membuat acara Sabaki menjadi
tidak menarik lagi untuk dinikmati sebagai ajang pertemuan antar budaya, akan
tetapi sebagai ajang pertemuan elit politik. Seharusnya para elit politik tidak
memanfaatkan acara Sabaki sebagai alat untuk melakukan politik praktis, karena
yang mengerti tentang tujuan acara Sabaki ini, hanya para petinggi adat,
sedangkan masyarakat adat biasa dan berusia lanjut tidak mengerti dan hanya
mengikuti saja, tanpa mengetahui tujuan utama dalam acara tersebut.
Akibatnya
acara Sarasehan Sabaki banyak mengalami hambatan dan masalah, salah satunya
kegiatan yang tidak terkordinasi dengan baik oleh para panitia penyelenggara,
karena sibuk mengurusi acara yang berada di panggung utama, sementara para
peserta yang berada ditempatkan di luar panggung utama tidak diperhatikan,
sehingga para peserta harus menunggu selama 2 jam untuk memulai acara
musyawarah dan peraturan tanah adat, para peserta pun sempat ingin membubarkan
diri dan menuju ke panggung utama. Panitia penanggung jawab acara di
masing-masing tempat pun tidak terlihat, hal ini pun merupakan kesepakatan para
panitia yang hanya memfokuskan acara ke panggung utama, sementara masyarakat
adat yang tergabung ke dalam kelompok di luar panggung menjadi pelengkap saja.
Hal ini yang kemudian membuat acara Sabaki berjalan tidak begitu baik, bukan
hanya karena fasilitas peserta yang kurang akan tetapi para panitia Sabaki yang tidak berkontribusi dan terlibat aktif, sehingga membuat acara Sabaki menjadi terhambat.