Indonesia adalah salah satu bangsa yang terdiri dari
berbagai suku bangsa, yang memiliki banyak sekali kebudayaan, adat istiadat dan
juga tradisi yang beraneka ragam. Sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang
artinya berbeda-beda tetap satu jua. Begitu kompleknya kebudayaan dan adat
istiadat yang ada, ini berarti menyangkut berbagai segi kehidupan manusia.
Jika ada daerah di Jawa Barat yang masih tetap
mempertahankan nilai-nilai dan tradisi warisan leluhurnya, maka salah satu
daerah itu adalah Kampung Naga. Jika ada masyarakat tatar sunda yang memiliki
kekayaan budaya yang khas, salah satunya adalah masyarakat kampung Naga.
Masyarakat kampung Naga merupakan salah satu
masyarakat adat di Jawa Barat, di samping masyarakat adat lainnya seperti yang
di jumpai di kampung Kuta (Ciamis), kampung Dukuh dan Kampung Pulo (Garut),
kampung Mahmud (kabupaten Banten), kampung Urug (Bogor), dan kampung
Ciptarasa-Sirnarasa di Kabupaten Sukabumi.
Masyarakat adat kampung Naga menempati sebuah
wilayah adat yang disebut kampung Naga. Nama itu hampir bisa dipastikan tidak
ada hubungannya dengan Negara bagian Naga di India selatan. Warga kampung Naga
sama sekali tidak memiliki kaitan apapun dengan suku bangsa manapun, kecuali
dengan msyarakat Sunda.
Sebagai bagian dari masyarakat sunda, warga kampung
Naga telah memperkaya budaya Sunda, dimana prinsip-prinsip yang diwariskan
leluhurnya ternyata memiliki kearifan dalam sistem pengetahuan lokal, sesuatu
yang selama ini dikesampingkan oleh orang modern.
Berbagai pengetahuan lokal yang masih tetap dipetahankan
itu antaralain menyangkut penyelarasan hubungan alam dan lingkungan. Dalam
hubungan itu, warga kampung Naga, demi kelangsungan hidupnya, mencoba
melindungi tempat tinggalnya melalui usaha menjaga kelestarian wilayahnya
dengan adanya “leuwung larangan” dan “Leuwung tutupan”.[1]
Bagi masyarakat adat kampung Naga, alam khusunya
lagi adalah hutan yang merupakan bank dan sekaligus apotek hidup karena hutan
dianggap sebagai Rahman Rahim.[2]
Hutan menyimpan kekayaan yang tidak ternilai harganya dalam menjaga
kelangsungan hidup mereka, baik secara jasmani dan rohani. Di kawasan hutan,
terdapat hasil hutan yang sangat
beraneka ragam dan sangat berguna tanpa melakukan perusakan terhadap
kawasan ini. Hutan juga bisa menjadi sumber gizi. Selain itu, sebagai
masyarakat tradisional, hutan memiliki berbagai jenis tumbuhan, dimana daun,
buah dan umbinya bisa dijadikan obat.
Dengan meletakkan posisi pada pandangan tersebut,
maka alam harus diakrabi, bukan sebaliknya malah dimusuhi. Pohom-pohonnya di
tebang. Satwanya di buru dan di bantai. Seperti halnya manusia, alam juga
membutuhkan perlakuan sesuai dengan kehendaknya, karena hubungan manusia dengan
alam adalah hubungan yang saling membutuhkan . pengalaman selama ini cukup
membuktikan kepada kita, betapa besar akibat kekeliruan selama ini dilakukan
oleh manusia terhadap alam, akibatnya sering terjaadi bencana Banjir, longsor
dan bencana alam lainnya[3].
Agama dan religi adalah hubungan manusia dengan yang
maha kudus, dihajati sebagai hakikat bersifat gaib, hubungan mana menyatakan
diri dalam bentuk kultus serta ritus dan sikap hidup berdasarkan doktrin
tertentu. Dalam tataran empiris, agama terdiri dari beberapa unsur pokok yaitu
sistem kepercayaan Tuhan, sistem aturan dari kitab suci, sistem ritual, dan
symbol-simbol agama yang bersifat kebendaan.
Aspek agama yang paling dasar adalah sistem
kepercayaan terhadap Tuhan, dzat ghaib yang supranatural. Tuhan dipercaya
sebagai sosok yang melampaui alam semesta. Dialah yang menciptakan alam
semesta, dan dengan demikian. Dia mempunyai kekuasaan mutlak atas alam semesta
sebagai makhluknya. Tuhan dipercaya ada secara obyektif yang terwujud, ada
sebelum pikiran manusia sadar aka nada-Nya, dan akan tetap hingga seseorang
meninggal.[4]
Kawasan Sakral di kampung Naga Ada tiga
daerah yang disakralkan oleh masyarakat Kampung Naga. Baik anggota masyarakat
maupun para pendatang tidak diperkenankan untuk memasuki tiga daerah ini.
Pamali (tabu) mereka menyebutnya. Tempat-tempat tersebut adalah:
a)
Hutan Keramat
Hutan keramat berada di sebelah barat perkampungan.
Secara lokasi, hutan keramat berada lebih tinggi dibandingkan dengan
perkampungan. Hutan ini masih terjaga kelestariannya. Masyarakat Kampung Naga
tidak berani memasuki hutan ini kecuali pada saat pelaksanaan ritual Hajat
Sasih. Hal ini disebabkan pelarangan adat kepada mereka.
Masyarakat Kampung Naga mempercayai bahwa hutan keramat
merupakan tempat bersemayamnya para leluhur mereka. Oleh karena itulah
pelaksanaan ritual Hajat Sasih dilaksanakan di hutan ini. Hutan keramat
merupakan hutan tempat pemakaman Sembah Dalem Eyang Singaparna beserta para
pengawal setianya.
b)
Hutan Larangan
Hutan larangan merupakan satu dari dua hutan yang
disakralkan oleh masyarakat Kampung Naga. Hutan ini berada di sebelah timur
perkampungan di seberang Sungai Ciwulan. Tidak berbeda dengan hutan keramat,
hutan larangan juga terjaga kelestariannya. Masyarakat Kampung Naga memiliki
kepercayaan bahwa hutan larangan merupakan tempat para dedemit yang dipindahkan
oleh Sembah Dalem Eyang Singaparna ke hutan tersebut sebelum membangun
perkampungan.
c)
Bumi Ageung
Bumi Ageung merupakan tempat sakral ketiga yang tidak
boleh dimasuki oleh masyarakat kecuali oleh kuncen, punduh adat, lebe dan
patunggon bumi ageung. Rumah ini berada di tengah-tengah antara hutan keramat
dan hutan larangan. Bumi ageung mereka percayai sebagai kawasan netral yang
berada antara sisi positif (hutan keramat) dan sisi negatif (hutan larangan)
yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga.[5]
Begitupun sistem kepercayaan dan tradisi yang terdapat di
masyarakatan kampung Naga, yang masih menggunakan dan melaksanakan
ritual-ritual yang dianggapnya sebagai ucapan rasa syukur kepada sang pencipta,
oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang, Bagaimana Sistem
kepercayaan masyarakat kampung Naga?. Bagaimana proses ritual yang ada di
kampung Naga tersebut?
-
Sistem
Kepercayaan Masyarakat Kampung Naga
Kampung
Naga adalah kampung dengan tradisi dan budaya yang tinggi, memiliki potensi
besar sebagai kampung dengan tingkat kebudayaan yang modernisasi. Di era baru
ini, kampung naga tentu tidak melupakan bagaimana budaya dan tradisi itu
tercipta, mereka tidak akan pernah lupa peran terbesar dalam sejarah penciptaan
adat dan tradisi itu tak lepas dari peran Agama. Agama dalam kampung naga murni
Islam, dan Islam datang ke kampung naga memang belum diketahui asal usulnya,
namun mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah beragama Islam.
Selanjutnya,
masyarakat kampung naga juga melakukan ibadah yang selalu dilakukan semua umat
islam yakni mengaji dan belajar ilmu agama pada guru atau ustadz yang dimana
sebutan yang sama dengan guru ngaji kebanyakan. Banyak pertanyaan yang
membingungkan, apakah kampung naga itu membedakan agama dan budaya jawabannya
adalah, mereka mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang berbeda adalah mereka
orang luar yang memandangnya, tentunya kampung naga menjadikan sebuah agama dan
budaya itu sebagai keselarasan. menjadi sebuah sinergi. Seperti yang sudah di
uatarakan, aturan budaya dan agama itu sebenarnya yang berbeda itu adalah dalam
bahasa. Sebenarnya ini sangat sulit untuk diutarakan dengan kata-kata, akan
tetapi jika dengan Lampah warga kampung naga sudah tebiasa. Seperti halnya
dengan bahasa budaya dan bahasa agama, seperti yang dipakai pada keseharian
mengenai waktu itu hampir sama dalam bahasa, budaya dan bahasa yang dipakai di
kampung naga seperti menunjukan waktu baik itu subuh, duhur dan lain sebagainya
dan itu adalah sama.
Mereka
menjalankan ibadah yang sama seperti sholat, berdakwah dan lain sebagainya.
Mereka juga menjalankan atau merayakan hari-hari besar islam seperti Idul
Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi dan lain sebagainya. Akan tetapi, dimana ada
sebuah upacara keagamaan besar disana juga tak ketinggalan dibumbui dengan
upacara dan ritua-ritual tertentu, hal tersebut tidak lepas dari adat istiadat
yang telah tersirat dalam kurun waktu yang sangat lama tentunya.
Adat
istiadat merupakan sebuah warisan budaya yang telah diturunkan nenek moyang
pada setiap generasi yang telah lahir. Maka dari itu dari setiap generasi ke
generasi selalu mengormati setiap aturan dan norma yang telah ada, termasuk
menjaga dan melestarikan alam disekitar dan lingkungan mereka. Nenek moyang
Kampung naga menganggap alam adalah sebuah perlindungan yang nyata dan tidak
boleh dirusak, karena mereka percaya alam adalah Arrohmanirrohim (pengasih dan
penyang) dan mereka percaya bahwa alam tidak akan membuat bencana, justru yang
menyebabkan bencana sendiri itu adalah akhlak dan keserakahan manusia, dan
menjadi wujud nyata mereka bermukim dibawah lembah dan tepi sungai.[6]
Masih
dengan kepercayaan yang ada di kampung Naga, salah satunya jika kita melihat
saat kita mengunjungi kampung Naga disana akan terlihat ada sebuah dedaunan
kering yang tergantung didepan pintu, hal itu tentunya terlihat sebagai sebuah
hiasan pintu, tapi makna yang terkandung lebih dalam, yakin sebuah perlindungan
atau Tolak Bala. Menurut mereka itu adalah simbol dari bentuk perlindungan dari
hal-hal Ghaib dan hal-hal religi seperti itu diutamakan, karena mereka selalu
percaya dengan kata “Eling”. Eling disini akan mengingatkan mereka pada sang
maha pencipta dan pada roh nenek moyang agar mereka tidak melakukan hal yang
dilarang[7].
Selanjutnya
mengenai adat, kampung Naga menilai adat bukan pada apa yang ada didalamnya,
melainkan menganggap bahwa adat adalah berasal dari keturunan dan sudah
digariskan oleh qodrat mereka sebagai keturunan untuk melanjutkan adat
tersebut. Sama halnya dengan agama, islam mengajarkan kita sejak kita lahir
untuk melakukan ibadah sholat ketika kita mampu untuk melakukannya, begitu pun
dengan adat yang ada di kampung Naga. Melihat hal itu, kampung Naga juga
belajar dari islam, tatkala sang pencipta memerintahkan kita untuk melakukan
sholat, maka para leluhur mereka juga memerintahkan untuk melakukan adat
tersebut.
2. Ritual-Ritual
yang ada di Kampung Naga
a. Hajat
Sasih, Upacara Ritual Terbesar
Beruntung
bagi mereka yang kedatangannya ke kampung Naga bertepatan waktunya dengan
penyelenggaraan upacara ritual hajat sasih. Pada saat seperti itu,
suasana kampung Naga sangat berlainan dengan hari-hari biasa,. Saat
diselenggarakan upacara ritual tersebut, kampung Naga sontak berubah menjadi
sebuah perkampungan yang penuh dengan kesibukan.
Upacara
hajat sasih biasanya diikuti oleh seluruh warga masyarakat kampung Naga
dan “Sanaga”. Mereka yang berasal dari luar kota seperti Bandung, Jakarta,
Bogor, dsb, biasanya sudah tiba sehari sebelumnya, sehingga suasanannya lebih
mirip seperti hari raya idul fitri.
Waktu
Penyelenggaraan Hajat Sasih
Hajat
sasih merupakan upacara ritual yang agenda
pelaksananya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung enam
kali dalam setahun dengan waktu yang sudah ditetapkan dan tidak boleh dirubah.
Alternatif
waktu penyelenggaraannya adalah sebagai berikut :
1. Bulan
Muharam, tanggal 26,27, atau 28
2. Bulan
Mulud 12,13 atau 14
3. Bulan
Jumadil Akhir, tanggal 16,17 atau 18
4. Bulan
Ruwah, tanggal 14,15 atau 15
5. Bulan
Syawal, tanggal 1,2, atau 3
6. Bulan
Rayagung, tanggal 10,11 atau 12
Adanya
alternative waktu penyelenggaraan tersebut bukan berarti upacara tersebut
dilaksanaka selama tiga hhari berturut-turut. Upacaranya sendiri hanya
diselenggarakan satu hari, namun pelaksanaannya dipilih berdasarkan waktu yang
memungkinkan. Sebagaimana diketahui, selama seminggu, masyarakat kampung Naga
melaksanakan Nyepi, yakni pada hari Selasa, Rabu dan Sabtu.
Upacara
hajat sasih tidak boleh diselenggarakan jika waktunya bertepatan dengan
saat mereka melaksanakan upacara nyepi. Jika salah satu tanggal yang ditetapkan
sebagai alternative itu bertepatan dengan dilaksanakannya upacara nyepi, maka
waktu penyelenggaraan hajat sasih harus diundur dan diajukan, saat mana
tidak bertepatan dengan waktu nyepi.[8]
Secara
garis besar, upacara ritual tersebut diawali dengan “bebersih” yang
dilakukan dengan mandi bersama di sungai Ciwulan, kemudian dilanjutkan dengan
berziarah ke makam leluhur mereka. Usai berziarah, mereka melakukan doa syukur
bersama.
1. Ziarah
ke Makam Leluhur
Masyarakat
kampung Naga percaya bahwa leluhur mereka adalah Sembah Dalem Eyang Singaparana
yang dimakamkam di Leuweung larangan. Bukit kecil disebelah selatan
permukiman mereka itu merupakan hutan tutupan yang tidak boleh sembarangan
dikunjungi. Pohon-pohonnya lebat dan udaranya sejuk, di tempat itu masih
terdapat dua makam lainnya yang dipercaya sebagai makam para pengawal setianya.
Untuk
mengunjungi leluhur yang sangat dihormati, para peziarah harus memenuhi
beberapa ketentuan. Pertama, mendapat izin dari kuncen sebagai pemangku adat
kampung Naga. Kedua, ziarah hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki dewasa
dan belim pernah menunaikan ibadah haji, bagi kaum perempuan tugasnya hanya
menyiapkan makanan sehingga ketika selesai ziarah suami langsung memakannya.[9]
Ketiga, tidakk kalah pentingnya lagi, fisik dan hatinya harus bersih. Karena
itu, sebelumnya, para peziarah diwajibkan bebersih lebih dahulu.
2. Mandi
Bersama untuk Bebersih
Bebersih
artinya membersihkan diri. Pengertian ini mengandung makna bukan hanya
membersihkan jasmani (fisik) tetapi juga rohani (jiwanya) dari berbagai anasir
yang menempel dan mengotori tubuh dan jiwa orang tersebut. proses kegiatannya
ditandai dengan isyarat melalui bunyi kentongan atau kohkol di masjid.
3. Menggunakan
Pakaian khas kampung Naga
Dalam
keadaan fisik dan jiwa yang sudah bersih, mereka kemudian menggunakan pakaian
khas warga kampung Naga yang juga sudah bersih. Bentuknya menyerupai jubbah
berlengan panjang. Sebagian besar warnanya putih, namun adapula yang berwarna
biru telor asin. Mereka menggunakan tutup kepala yang disebut totopong, atau
iket khas masyarakat kampung Naga.
b. Upacara
“Gusaran”
Gusaran
sama artinya dengan khitanan. Daerah-daerah pedesaan di Jawa Barat, khitanan
biasanya dilakukan oleh Bengkong. Sedangkan di Jawa Tengah dilakukan oleh Bong
supit. Keduanya sama saja. Umumnya mereka tak ubangnya dukun-dukun beranak yang
disebut paraji yang banyak dijumpai di kampung-kampung[10].
Dalam
lingkungan masyarakat Naga, khitanan anak-anak mereka dilakukan secara massal
bersama-sama yang berasal dari Sanaga. Karena itu, jumlah pesertanya bisa
mencapai lebih dari 30 anak. Uniknya, karena mereka harus berpasangan dengan
anak wanita, maka jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat.
Persiapan
upacara gusuran ditandai dengan berbagai kesibukan oleh hampir seluruh
masyarakat kampung Naga dan sanaga, terutama oleh orang tua yang anaknya akan
di khitan. Sejak seminggu sebelumnya mereka sudah menyiapkan diri dengan
menyediakan bahan-bahan yang diperlukan. Rangkaian Upacara Gusaran diantaranya
:
1. Bebersih
bersama Anak
2. Pesertanya,
anak laki-laki dan perempuan
3. Diarak
keliling kampung
c. Ritual
Perkawinan dalam Masyarakat kampung Naga
Masyarakat
kampung Naga melakukan perkawinan sama seperti masyarakat sunda namun yang
membedakan yaitu tata cara atau upacaranya, masyarakat kampung Naga masih
menggunakan adat istiadat leluhurnya. Walau demikian, upacara perkawinan
dikalangan anggota masyarakat Naga, prinsipnya tidak banyak yang berbeda dengan
anggota masyarakat lainnya yang tinggal diluar kampung Naga. Artinya, sebelum
pasangan melangsungkan akad nikah, mereka lebih dalu harus memenuhi beberapa
persyaratan administrasi.
Akad
nikah dilakukan dengan ijab Kabul yang disaksikan dua orang saksi. Ijab artinya
pernyataan dari ayah mempelai wanita yang bertindak sebagai wali. Namun jika
ayahnya berhalangan tidak bisa hadir sakit atau sudah meninggal, peran tersebut
bisa digantikan oleh orang yang diberi kuasa untuk bertindak sebagai wali.[11]
Setelah
ijab diucapkan, segera disusul dengan ucapan Kabul oleh mempelai laki-laki
sebagai tanda penerimaan. Sehingga dengan selesainya ijab-kabul tersebut. kedua
pasangan tersebut sudah sah menjadi suami-istri. Terjadinya proses ijab-kabul
tersebut disebut dirapalan.
Walaupun
sudah sah menjadi pasangan suami-istri, namun karena mereka merupakan bagian
dari masyarat adat, maka upacara perkawinannya masih harus dilanjutkan dengan
prosesi berikutnya yang didasarkan pada adat dan tradisi leluhurnya. Dalam
proses ini kuncen dan sesepuh masyarakat kampung Naga sangat berperan.
Kuncen
dan sesepuh masyarakat kampung Naga yang bertindak sebagai pemimpin prosesi
upacara tersebut, membacakan doa-doanya dan kemudian disusul
Dengan
sepatah-dua kata yang sarat dengan nasihat kepada sepasang mempelai yang duduk
bersila di depannya. Di kiri dan kanannya duduk orang tua mempelai dan keluarga
dekat.
Sepanjang
prosesi upacara tersebut berlangsung, asap kemenyan hampir tak henti-henti
mengepul. Usai pembacaan doa, kerabat dekat yang semula duduk bersila diruangan
tersebut bangkit lalu mengangkat kasur milik pengantin. Kasur tersebut kemudian
ditaruh diatas kepulan asap kemenyan dengan harapan memporel berkah untuk
pemakaiannya yang akan mengarungi hidup baru.
d. Ritual
Orang Hamil
Upacara ritual yang
masih kental terlihat pada masyarakat /warga yang sedang hamil¸ jika ada
seseorang yang sedang hamil diwajibkan untuk mandi dengan kembang kemudian di
sediakan belut¸ ikan emas merah yang nantinya di letakan didalam bak yang
berisikan air untuk mandinya· semua itu dipercaya agar dilancarkan ketika akan
melahirkan.
setiap
kehamilan mencapai tujuh bulan banyak sekali yang harus dilakukan terutama
diamnya orang tersebut didalam rumah dari awal kehamilan sampai tujuh bulan,
hal itu merupakan peraturan dan tidak boleh dilanggar, karena akan berakibat
pada orang tersebut. Biasanya untuk mengetahui cabang bayi yang dikandungnya,
dilakukan oleh dukun beranak dengan cara memegang perut wanita yang sedang
hamil tersebut, kemudian setelah melakukan itu dukun beranak biasanya sudah
bisa menebak bayi apa yang akan lahir.
Daftar
Pustaka
David Trueblood,
Filsafat Agama, terj. Oleh H.M. Rasidi, (Jakarta: Bulan Bintang). 1994
Wawancara
Wawancara kuncen Edi, Sabtu , Kp. Naga, 16 Januari
2017
Wawancara
dengan ibu Aisyah, kp. 15 Januari 2017
Wawancara
Pak Odin, kp. Naga, 16 Januari 2017
Wawancara
ibu Yati, Kp. Naga, 15 Januari 2017
Wawancara
dengan Ibu Maryati, Kp. Naga-Tasikmalaya, 15 Januari 2017
Wawancara
dengan pak Maun, kp. Naga-Tasikmalaya, 15 Januari
[1] Leuweung dalam bahasa sunda bisa juga diartikan dengan Hutan.
[2] Wawancara kuncen Edi, Sabtu , 08.30
[3] Wawancara kuncen Edi, 09.00
[4] David Trueblood, Filsafat Agama, terj. Oleh H.M. Rasyid,
(Jakarta:Bulan Bintang, 1994), p.6
[5] Wawancara Bapak Maun, 20.00, 15 Januari 2017
[6] Wawancara pak edi selaku kuncen, 08.45, 15 Januari 2017
[7] Wawancara dengan Ibu maryati, 20.00, 14 Januari 2017
[8] Wawancara mang oding, 16.00, 14 Januari 2017
[9] Wawancara ibu Yati, 20.00, 15 Januari 2017
[10] Wawancara Pak odin, 09.00, 16 Januari 2017
[11] Wawancara dengan ibu Aisyah, 20.30. 15 Januari 2017