Selasa, 02 Mei 2017

Kepercayaan Masyarakat Kampung Naga


Indonesia adalah salah satu bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memiliki banyak sekali kebudayaan, adat istiadat dan juga tradisi yang beraneka ragam. Sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetap satu jua. Begitu kompleknya kebudayaan dan adat istiadat yang ada, ini berarti menyangkut berbagai segi kehidupan manusia.
Jika ada daerah di Jawa Barat yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai dan tradisi warisan leluhurnya, maka salah satu daerah itu adalah Kampung Naga. Jika ada masyarakat tatar sunda yang memiliki kekayaan budaya yang khas, salah satunya adalah masyarakat kampung Naga.
Masyarakat kampung Naga merupakan salah satu masyarakat adat di Jawa Barat, di samping masyarakat adat lainnya seperti yang di jumpai di kampung Kuta (Ciamis), kampung Dukuh dan Kampung Pulo (Garut), kampung Mahmud (kabupaten Banten), kampung Urug (Bogor), dan kampung Ciptarasa-Sirnarasa di Kabupaten Sukabumi.
Masyarakat adat kampung Naga menempati sebuah wilayah adat yang disebut kampung Naga. Nama itu hampir bisa dipastikan tidak ada hubungannya dengan Negara bagian Naga di India selatan. Warga kampung Naga sama sekali tidak memiliki kaitan apapun dengan suku bangsa manapun, kecuali dengan msyarakat Sunda.
Sebagai bagian dari masyarakat sunda, warga kampung Naga telah memperkaya budaya Sunda, dimana prinsip-prinsip yang diwariskan leluhurnya ternyata memiliki kearifan dalam sistem pengetahuan lokal, sesuatu yang selama ini dikesampingkan oleh orang modern.
Berbagai pengetahuan lokal yang masih tetap dipetahankan itu antaralain menyangkut penyelarasan hubungan alam dan lingkungan. Dalam hubungan itu, warga kampung Naga, demi kelangsungan hidupnya, mencoba melindungi tempat tinggalnya melalui usaha menjaga kelestarian wilayahnya dengan adanya “leuwung larangan” dan “Leuwung tutupan”.[1]
Bagi masyarakat adat kampung Naga, alam khusunya lagi adalah hutan yang merupakan bank dan sekaligus apotek hidup karena hutan dianggap sebagai Rahman Rahim.[2] Hutan menyimpan kekayaan yang tidak ternilai harganya dalam menjaga kelangsungan hidup mereka, baik secara jasmani dan rohani. Di kawasan hutan, terdapat hasil hutan yang sangat  beraneka ragam dan sangat berguna tanpa melakukan perusakan terhadap kawasan ini. Hutan juga bisa menjadi sumber gizi. Selain itu, sebagai masyarakat tradisional, hutan memiliki berbagai jenis tumbuhan, dimana daun, buah dan umbinya bisa dijadikan obat.
Dengan meletakkan posisi pada pandangan tersebut, maka alam harus diakrabi, bukan sebaliknya malah dimusuhi. Pohom-pohonnya di tebang. Satwanya di buru dan di bantai. Seperti halnya manusia, alam juga membutuhkan perlakuan sesuai dengan kehendaknya, karena hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang saling membutuhkan . pengalaman selama ini cukup membuktikan kepada kita, betapa besar akibat kekeliruan selama ini dilakukan oleh manusia terhadap alam, akibatnya sering terjaadi bencana Banjir, longsor dan bencana alam lainnya[3].
Agama dan religi adalah hubungan manusia dengan yang maha kudus, dihajati sebagai hakikat bersifat gaib, hubungan mana menyatakan diri dalam bentuk kultus serta ritus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Dalam tataran empiris, agama terdiri dari beberapa unsur pokok yaitu sistem kepercayaan Tuhan, sistem aturan dari kitab suci, sistem ritual, dan symbol-simbol agama yang bersifat kebendaan.
Aspek agama yang paling dasar adalah sistem kepercayaan terhadap Tuhan, dzat ghaib yang supranatural. Tuhan dipercaya sebagai sosok yang melampaui alam semesta. Dialah yang menciptakan alam semesta, dan dengan demikian. Dia mempunyai kekuasaan mutlak atas alam semesta sebagai makhluknya. Tuhan dipercaya ada secara obyektif yang terwujud, ada sebelum pikiran manusia sadar aka nada-Nya, dan akan tetap hingga seseorang meninggal.[4]
Kawasan Sakral di kampung Naga Ada tiga daerah yang disakralkan oleh masyarakat Kampung Naga. Baik anggota masyarakat maupun para pendatang tidak diperkenankan untuk memasuki tiga daerah ini. Pamali (tabu) mereka menyebutnya. Tempat-tempat tersebut adalah:
a)      Hutan Keramat
Hutan keramat berada di sebelah barat perkampungan. Secara lokasi, hutan keramat berada lebih tinggi dibandingkan dengan perkampungan. Hutan ini masih terjaga kelestariannya. Masyarakat Kampung Naga tidak berani memasuki hutan ini kecuali pada saat pelaksanaan ritual Hajat Sasih. Hal ini disebabkan pelarangan adat kepada mereka.
Masyarakat Kampung Naga mempercayai bahwa hutan keramat merupakan tempat bersemayamnya para leluhur mereka. Oleh karena itulah pelaksanaan ritual Hajat Sasih dilaksanakan di hutan ini. Hutan keramat merupakan hutan tempat pemakaman Sembah Dalem Eyang Singaparna beserta para pengawal setianya.
b)      Hutan Larangan
Hutan larangan merupakan satu dari dua hutan yang disakralkan oleh masyarakat Kampung Naga. Hutan ini berada di sebelah timur perkampungan di seberang Sungai Ciwulan. Tidak berbeda dengan hutan keramat, hutan larangan juga terjaga kelestariannya. Masyarakat Kampung Naga memiliki kepercayaan bahwa hutan larangan merupakan tempat para dedemit yang dipindahkan oleh Sembah Dalem Eyang Singaparna ke hutan tersebut sebelum membangun perkampungan.
c)      Bumi Ageung
Bumi Ageung merupakan tempat sakral ketiga yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat kecuali oleh kuncen, punduh adat, lebe dan patunggon bumi ageung. Rumah ini berada di tengah-tengah antara hutan keramat dan hutan larangan. Bumi ageung mereka percayai sebagai kawasan netral yang berada antara sisi positif (hutan keramat) dan sisi negatif (hutan larangan) yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Naga.[5]
Begitupun sistem kepercayaan dan tradisi yang terdapat di masyarakatan kampung Naga, yang masih menggunakan dan melaksanakan ritual-ritual yang dianggapnya sebagai ucapan rasa syukur kepada sang pencipta, oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang, Bagaimana Sistem kepercayaan masyarakat kampung Naga?. Bagaimana proses ritual yang ada di kampung Naga tersebut?
  1. Sistem Kepercayaan Masyarakat Kampung Naga
Kampung Naga adalah kampung dengan tradisi dan budaya yang tinggi, memiliki potensi besar sebagai kampung dengan tingkat kebudayaan yang modernisasi. Di era baru ini, kampung naga tentu tidak melupakan bagaimana budaya dan tradisi itu tercipta, mereka tidak akan pernah lupa peran terbesar dalam sejarah penciptaan adat dan tradisi itu tak lepas dari peran Agama. Agama dalam kampung naga murni Islam, dan Islam datang ke kampung naga memang belum diketahui asal usulnya, namun mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah beragama Islam.
Selanjutnya, masyarakat kampung naga juga melakukan ibadah yang selalu dilakukan semua umat islam yakni mengaji dan belajar ilmu agama pada guru atau ustadz yang dimana sebutan yang sama dengan guru ngaji kebanyakan. Banyak pertanyaan yang membingungkan, apakah kampung naga itu membedakan agama dan budaya jawabannya adalah, mereka mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang berbeda adalah mereka orang luar yang memandangnya, tentunya kampung naga menjadikan sebuah agama dan budaya itu sebagai keselarasan. menjadi sebuah sinergi. Seperti yang sudah di uatarakan, aturan budaya dan agama itu sebenarnya yang berbeda itu adalah dalam bahasa. Sebenarnya ini sangat sulit untuk diutarakan dengan kata-kata, akan tetapi jika dengan Lampah warga kampung naga sudah tebiasa. Seperti halnya dengan bahasa budaya dan bahasa agama, seperti yang dipakai pada keseharian mengenai waktu itu hampir sama dalam bahasa, budaya dan bahasa yang dipakai di kampung naga seperti menunjukan waktu baik itu subuh, duhur dan lain sebagainya dan itu adalah sama.
Mereka menjalankan ibadah yang sama seperti sholat, berdakwah dan lain sebagainya. Mereka juga menjalankan atau merayakan hari-hari besar islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi dan lain sebagainya. Akan tetapi, dimana ada sebuah upacara keagamaan besar disana juga tak ketinggalan dibumbui dengan upacara dan ritua-ritual tertentu, hal tersebut tidak lepas dari adat istiadat yang telah tersirat dalam kurun waktu yang sangat lama tentunya.
Adat istiadat merupakan sebuah warisan budaya yang telah diturunkan nenek moyang pada setiap generasi yang telah lahir. Maka dari itu dari setiap generasi ke generasi selalu mengormati setiap aturan dan norma yang telah ada, termasuk menjaga dan melestarikan alam disekitar dan lingkungan mereka. Nenek moyang Kampung naga menganggap alam adalah sebuah perlindungan yang nyata dan tidak boleh dirusak, karena mereka percaya alam adalah Arrohmanirrohim (pengasih dan penyang) dan mereka percaya bahwa alam tidak akan membuat bencana, justru yang menyebabkan bencana sendiri itu adalah akhlak dan keserakahan manusia, dan menjadi wujud nyata mereka bermukim dibawah lembah dan tepi sungai.[6]
Masih dengan kepercayaan yang ada di kampung Naga, salah satunya jika kita melihat saat kita mengunjungi kampung Naga disana akan terlihat ada sebuah dedaunan kering yang tergantung didepan pintu, hal itu tentunya terlihat sebagai sebuah hiasan pintu, tapi makna yang terkandung lebih dalam, yakin sebuah perlindungan atau Tolak Bala. Menurut mereka itu adalah simbol dari bentuk perlindungan dari hal-hal Ghaib dan hal-hal religi seperti itu diutamakan, karena mereka selalu percaya dengan kata “Eling”. Eling disini akan mengingatkan mereka pada sang maha pencipta dan pada roh nenek moyang agar mereka tidak melakukan hal yang dilarang[7].
Selanjutnya mengenai adat, kampung Naga menilai adat bukan pada apa yang ada didalamnya, melainkan menganggap bahwa adat adalah berasal dari keturunan dan sudah digariskan oleh qodrat mereka sebagai keturunan untuk melanjutkan adat tersebut. Sama halnya dengan agama, islam mengajarkan kita sejak kita lahir untuk melakukan ibadah sholat ketika kita mampu untuk melakukannya, begitu pun dengan adat yang ada di kampung Naga. Melihat hal itu, kampung Naga juga belajar dari islam, tatkala sang pencipta memerintahkan kita untuk melakukan sholat, maka para leluhur mereka juga memerintahkan untuk melakukan adat tersebut.
2.      Ritual-Ritual yang ada di Kampung Naga
a.       Hajat Sasih, Upacara Ritual Terbesar
Beruntung bagi mereka yang kedatangannya ke kampung Naga bertepatan waktunya dengan penyelenggaraan upacara ritual hajat sasih. Pada saat seperti itu, suasana kampung Naga sangat berlainan dengan hari-hari biasa,. Saat diselenggarakan upacara ritual tersebut, kampung Naga sontak berubah menjadi sebuah perkampungan yang penuh dengan kesibukan.
Upacara hajat sasih biasanya diikuti oleh seluruh warga masyarakat kampung Naga dan “Sanaga”. Mereka yang berasal dari luar kota seperti Bandung, Jakarta, Bogor, dsb, biasanya sudah tiba sehari sebelumnya, sehingga suasanannya lebih mirip seperti hari raya idul fitri.
Waktu Penyelenggaraan Hajat Sasih
Hajat sasih merupakan upacara ritual yang agenda pelaksananya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung enam kali dalam setahun dengan waktu yang sudah ditetapkan dan tidak boleh dirubah.
Alternatif waktu penyelenggaraannya adalah sebagai berikut :
1.      Bulan Muharam, tanggal 26,27, atau 28
2.      Bulan Mulud 12,13 atau 14
3.      Bulan Jumadil Akhir, tanggal 16,17 atau 18
4.      Bulan Ruwah, tanggal 14,15 atau 15
5.      Bulan Syawal, tanggal 1,2, atau 3
6.      Bulan Rayagung, tanggal 10,11 atau 12
Adanya alternative waktu penyelenggaraan tersebut bukan berarti upacara tersebut dilaksanaka selama tiga hhari berturut-turut. Upacaranya sendiri hanya diselenggarakan satu hari, namun pelaksanaannya dipilih berdasarkan waktu yang memungkinkan. Sebagaimana diketahui, selama seminggu, masyarakat kampung Naga melaksanakan Nyepi, yakni pada hari Selasa, Rabu dan Sabtu.
Upacara hajat sasih tidak boleh diselenggarakan jika waktunya bertepatan dengan saat mereka melaksanakan upacara nyepi. Jika salah satu tanggal yang ditetapkan sebagai alternative itu bertepatan dengan dilaksanakannya upacara nyepi, maka waktu penyelenggaraan hajat sasih harus diundur dan diajukan, saat mana tidak bertepatan dengan waktu nyepi.[8]
Secara garis besar, upacara ritual tersebut diawali dengan “bebersih” yang dilakukan dengan mandi bersama di sungai Ciwulan, kemudian dilanjutkan dengan berziarah ke makam leluhur mereka. Usai berziarah, mereka melakukan doa syukur bersama.
1.      Ziarah ke Makam Leluhur
Masyarakat kampung Naga percaya bahwa leluhur mereka adalah Sembah Dalem Eyang Singaparana yang dimakamkam di Leuweung larangan. Bukit kecil disebelah selatan permukiman mereka itu merupakan hutan tutupan yang tidak boleh sembarangan dikunjungi. Pohon-pohonnya lebat dan udaranya sejuk, di tempat itu masih terdapat dua makam lainnya yang dipercaya sebagai makam para pengawal setianya.
Untuk mengunjungi leluhur yang sangat dihormati, para peziarah harus memenuhi beberapa ketentuan. Pertama, mendapat izin dari kuncen sebagai pemangku adat kampung Naga. Kedua, ziarah hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki dewasa dan belim pernah menunaikan ibadah haji, bagi kaum perempuan tugasnya hanya menyiapkan makanan sehingga ketika selesai ziarah suami langsung memakannya.[9] Ketiga, tidakk kalah pentingnya lagi, fisik dan hatinya harus bersih. Karena itu, sebelumnya, para peziarah diwajibkan bebersih lebih dahulu.
2.      Mandi Bersama untuk Bebersih
Bebersih artinya membersihkan diri. Pengertian ini mengandung makna bukan hanya membersihkan jasmani (fisik) tetapi juga rohani (jiwanya) dari berbagai anasir yang menempel dan mengotori tubuh dan jiwa orang tersebut. proses kegiatannya ditandai dengan isyarat melalui bunyi kentongan atau kohkol di masjid.
3.      Menggunakan Pakaian khas kampung Naga
Dalam keadaan fisik dan jiwa yang sudah bersih, mereka kemudian menggunakan pakaian khas warga kampung Naga yang juga sudah bersih. Bentuknya menyerupai jubbah berlengan panjang. Sebagian besar warnanya putih, namun adapula yang berwarna biru telor asin. Mereka menggunakan tutup kepala yang disebut totopong, atau iket khas masyarakat kampung Naga.
b.      Upacara “Gusaran”
Gusaran sama artinya dengan khitanan. Daerah-daerah pedesaan di Jawa Barat, khitanan biasanya dilakukan oleh Bengkong. Sedangkan di Jawa Tengah dilakukan oleh Bong supit. Keduanya sama saja. Umumnya mereka tak ubangnya dukun-dukun beranak yang disebut paraji yang banyak dijumpai di kampung-kampung[10].
Dalam lingkungan masyarakat Naga, khitanan anak-anak mereka dilakukan secara massal bersama-sama yang berasal dari Sanaga. Karena itu, jumlah pesertanya bisa mencapai lebih dari 30 anak. Uniknya, karena mereka harus berpasangan dengan anak wanita, maka jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat.
Persiapan upacara gusuran ditandai dengan berbagai kesibukan oleh hampir seluruh masyarakat kampung Naga dan sanaga, terutama oleh orang tua yang anaknya akan di khitan. Sejak seminggu sebelumnya mereka sudah menyiapkan diri dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan. Rangkaian Upacara Gusaran diantaranya :
1.      Bebersih bersama Anak
2.      Pesertanya, anak laki-laki dan perempuan
3.      Diarak keliling kampung
c.       Ritual Perkawinan dalam Masyarakat kampung Naga
Masyarakat kampung Naga melakukan perkawinan sama seperti masyarakat sunda namun yang membedakan yaitu tata cara atau upacaranya, masyarakat kampung Naga masih menggunakan adat istiadat leluhurnya. Walau demikian, upacara perkawinan dikalangan anggota masyarakat Naga, prinsipnya tidak banyak yang berbeda dengan anggota masyarakat lainnya yang tinggal diluar kampung Naga. Artinya, sebelum pasangan melangsungkan akad nikah, mereka lebih dalu harus memenuhi beberapa persyaratan administrasi.
Akad nikah dilakukan dengan ijab Kabul yang disaksikan dua orang saksi. Ijab artinya pernyataan dari ayah mempelai wanita yang bertindak sebagai wali. Namun jika ayahnya berhalangan tidak bisa hadir sakit atau sudah meninggal, peran tersebut bisa digantikan oleh orang yang diberi kuasa untuk bertindak sebagai wali.[11]
Setelah ijab diucapkan, segera disusul dengan ucapan Kabul oleh mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Sehingga dengan selesainya ijab-kabul tersebut. kedua pasangan tersebut sudah sah menjadi suami-istri. Terjadinya proses ijab-kabul tersebut disebut dirapalan.
Walaupun sudah sah menjadi pasangan suami-istri, namun karena mereka merupakan bagian dari masyarat adat, maka upacara perkawinannya masih harus dilanjutkan dengan prosesi berikutnya yang didasarkan pada adat dan tradisi leluhurnya. Dalam proses ini kuncen dan sesepuh masyarakat kampung Naga sangat berperan.
Kuncen dan sesepuh masyarakat kampung Naga yang bertindak sebagai pemimpin prosesi upacara tersebut, membacakan doa-doanya dan kemudian disusul
Dengan sepatah-dua kata yang sarat dengan nasihat kepada sepasang mempelai yang duduk bersila di depannya. Di kiri dan kanannya duduk orang tua mempelai dan keluarga dekat.
Sepanjang prosesi upacara tersebut berlangsung, asap kemenyan hampir tak henti-henti mengepul. Usai pembacaan doa, kerabat dekat yang semula duduk bersila diruangan tersebut bangkit lalu mengangkat kasur milik pengantin. Kasur tersebut kemudian ditaruh diatas kepulan asap kemenyan dengan harapan memporel berkah untuk pemakaiannya yang akan mengarungi hidup baru.
d.      Ritual Orang Hamil
Upacara ritual yang masih kental terlihat pada masyarakat /warga yang sedang hamil¸ jika ada seseorang yang sedang hamil diwajibkan untuk mandi dengan kembang kemudian di sediakan belut¸ ikan emas merah yang nantinya di letakan didalam bak yang berisikan air untuk mandinya· semua itu dipercaya agar dilancarkan ketika akan melahirkan.
setiap kehamilan mencapai tujuh bulan banyak sekali yang harus dilakukan terutama diamnya orang tersebut didalam rumah dari awal kehamilan sampai tujuh bulan, hal itu merupakan peraturan dan tidak boleh dilanggar, karena akan berakibat pada orang tersebut. Biasanya untuk mengetahui cabang bayi yang dikandungnya, dilakukan oleh dukun beranak dengan cara memegang perut wanita yang sedang hamil tersebut, kemudian setelah melakukan itu dukun beranak biasanya sudah bisa menebak bayi apa yang akan lahir.
      Daftar Pustaka
David Trueblood, Filsafat Agama, terj. Oleh H.M. Rasidi, (Jakarta: Bulan Bintang). 1994
Wawancara
Wawancara kuncen Edi, Sabtu , Kp. Naga, 16 Januari 2017
Wawancara dengan ibu Aisyah, kp. 15 Januari 2017
Wawancara Pak Odin, kp. Naga, 16 Januari 2017
Wawancara ibu Yati, Kp. Naga, 15 Januari 2017
Wawancara dengan Ibu Maryati, Kp. Naga-Tasikmalaya, 15 Januari 2017
Wawancara dengan pak Maun, kp. Naga-Tasikmalaya, 15 Januari

[1] Leuweung dalam bahasa sunda bisa juga diartikan dengan Hutan.
[2] Wawancara kuncen Edi, Sabtu , 08.30
[3] Wawancara kuncen Edi, 09.00
[4] David Trueblood, Filsafat Agama, terj. Oleh H.M. Rasyid, (Jakarta:Bulan Bintang, 1994), p.6
[5] Wawancara Bapak Maun, 20.00, 15 Januari 2017
[6] Wawancara pak edi selaku kuncen, 08.45, 15 Januari 2017
[7] Wawancara dengan Ibu maryati, 20.00, 14 Januari 2017
[8] Wawancara mang oding, 16.00, 14 Januari 2017
[9] Wawancara ibu Yati, 20.00, 15 Januari 2017
[10] Wawancara Pak odin, 09.00, 16 Januari 2017
[11] Wawancara dengan ibu Aisyah, 20.30. 15 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penggagasan Gerakan Rakyat Cilegon 1888

Haji Marjuki : Aktivis dan Penggagas Geger Cilegon Riwayat Hidup Haji Marjuki Marjuki adalah salah satu aktivis Geger Cilegon y...