Rabu, 06 Februari 2019

WATU GIGILANG: TEMPAT PENOBATAN SULTAN BANTEN


WATU GIGILANG: TEMPAT PENOBATAN SULTAN BANTEN

AMI NAZZAM




Watu Gigilang adalah sebuah batu andesit yang berbentuk persegi panjang yang terletak tidak jauh dari Keraton Surosowan kawasan Banten Lama Kecamatan Kasemen Kota Serang. Batu ini dijadikan tempat penobatan sultan Banten pada abad ke-16. Batu ini dibawa dari kerajaan Padjajaran yang saat itu telah kalah oleh pasukan Demak dan Cirebon.
Sunan Gunung Jati memerintahkan Watu Gigilang untuk diletakan di area keraton Surosowan yang saat itu menjadi pusat pemerintahan kesultanan Banten. Watu Gigilang digunakan ketika akan ada pengangkatan atau penobatam sultan Banten. Menurut Babat Banten, Watu Gigilang sudah ada di kawasan Banten Lama dan menjadi tempat bertapa Batara Guru Jampang yang sudah lama bertapa sampai kepalanya ada sarang burung. Sehingga Sultan Gunung Jati memerintahkan kepada Maulana Hasanuddin, bahwa Watu Gigilang tidak boleh dipindahkan atau digeser, karena jika hal itu terjadi maka kesultanan Banten akan hancur, sehingga hingga sampai saat ini Batu Gigilang tidak pernah bergeser.
Dalam catatan sejarah lain, bahwa Watu Gigilang dibawa ke Keraton Surosowan, ketika Maulana Yusuf berhasil menghancurkan kerajaan Padjajaran pada tahun 1579, karena pada saat itu Maulana Yusuf tidak terikat perjanjian damai dengan kerajaan Padjajaran, seperti yang dilakukan oleh ayahnya Maulana Hasanuddin dengan pimpinan Padjajaran, sehingga untuk mengembangkan kota Banten Maulana Yusuf perlu memperluas daerah kekuasaannya di Jawa Barat dengan menaklukan kerajaan Padjajaran dan membawa Batu Gigilang agar tidak ada lagi penobatan Raja Padjajaran selanjutnya.
Menurut Guillot, bahwa sejenis Watu Gigilang sebetulnya sudah digunakan juga sebagai tradisi kerajaan-kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dengan sebutan Sela Gilang. Sela Gilang dianggap sebagai tahta kuno Kerajaan Majapahit, saat pemindahan ibu kota Majapahit pada abad ke 14.
   Watu Gigilang mulai tidak digunakan sebagai penobatan Sultan Banten, ketika pada masa Sultan Haji atau Abdul Nasr Abdul Kahar yang memimpin pada tahun 1672, yang menganggap penobatan Sultan Banten di batu tersebut, tidak begitu penting, sehingga sejak Sultan Haji memimpin sampai sultan Syafiuddin, Watu Gigilang sudah tidak digunakan lagi sebagai benda sakral untuk penobatan Sultan.
Walaupun sudah tidak digunakan lagi sebagai tempat penobatan Sultan, namun Batu Gigilang dari sejak zaman kesultanan sampai saat ini, masih dianggap memiliki kesakralan oleh masyarakat Banten, sehingga tidak pernah dipindahkan atau digeser dari tempat Watu Gigilang ini diletakkan.
Saat ini pun, ketika dilaksanakan revitalisasi bangunan Cagar Budaya di kawasan Banten Lama, namun Watu Gigilang tidak dipindahkan dari tempatnya dan masih dapat kita saksikan di depan gerbang Surosowan yang telah dijadikan taman untuk dinikmati oleh para wisatawan. Bagaimana pun Watu Gigilang pernah jadi saksi Sejarah kejayaan Islam dinobatkannya para Sultan dan mengucapkan sumpah.

Vihara Avalokitesvara: Kisah Cinta Beda Agama


Vihara Avalokitesvara: Kisah Cinta Beda Agama

AMI Nazzam



Banten merupakan wilayah kekuasaan dari kerajaan Sunda atau Padjajaran Pada abad ke XV. Kerajaan Sunda-Padjajaran memiliki pelabuhan yang cukup ramai dikunjungi oleh saudagar dari berbagai daerah di Nusantara dan mancanegara. Menurut catatan Tomi Pires, Bandar-bandar kerajaan Sunda, meliputi Pelabuhan Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Calapa(Sunda Kalapa), dan Cimanuk. Sehingga saat itu Banten telah menjadi pelabuhan besar dan banyak para saudagar dari Timur datang ke Banten untuk membeli rempah-rempah yang saat itu memakai system barter.
Banyak Saudagar yang datang dari Persia, India, Arab dan Cina yang menganut agama Islam, sehingga selain berdagang, para saudagar mengajarkan agama Islam dan tidak sedikit yang menikahi masyarakat pribumi Banten agar tetap tinggal di daerah Banten. Walaupun Banten pada saat itu dikuasai oleh kerajaan Sunda, namun di daerah pesisir telah banyak yang masuk Islam, hal ini dapat dilihat dengan di bangunnya masjid Pacinan yang dipercaya telah berdiri sebelum kesultanan Banten berdiri.
Ketika Sultan Gunung Jati ke Banten, memang telah banyak masyarakat yang menganut agama Islam dan kemudian masjid Pecinan Tinggi direnovasi oleh Sunan Gunung Jati. Pada saat itu mulai banyak masyarakat muslim dari Cina yang menetap ke Banten dan melakukan kegiatan dakwah dan pendidikan agama Islam di masjid Pecinan Tinggi tersebut.
Pada abad ke XV, datanglah para rombongan saudagar yang berasal dari Tiongkok yang dipimpin oleh seorang putri yang bernama Ong Tien, saat itu wilayah pesisir Banten telah banyak yang menganut agama Islam, sehingga ketika rombongan putri Ong Tien datang ke Banten banyak masyarakat Banten yang tidak suka dengan kehadiran mereka. Hal ini menimbulkan konflik antara masyarakat Banten dengan masyarakat Tiongkok yang masih menganut agama Budha.
Saat itu Sunan Gunung Jati mencoba melerai konflik tersebut, dengan memanggil pemimpin dari para rombongan Tiongkok tersebut, akhirnya putri Ong Tien memenuhi panggilan Sunan Gunung Jati. Pada saat itu Sunan Gunung Jati yang melihat kecantikan putri Ong Tien mulai jatuh hati dan kemudian menikahi putri Ong Tien yang saat itu telah masuk Islam pada tahun 1478. Rombongan putri Ong Tien yang masih memegang teguh keyakinannya masih melakukan konflik kepada masyarakat Banten. Sehingga Sunan Gunung Jati mendirikan tempat peribadatan masyarakat Budha dengan membangun Vihara Avalokitesvara.
Vihara ini berada di desa Dermayon, untuk meredah konflik antara masyarakat Banten dan Tiongkok yang masih memegang ajaran Budha, sehingga di dalam vihara dibuat juga masjid untuk para rombongan Tiongkok yang menganut agama Islam. Saat itu konflik antar keduanya sudah jarang terjadi dan masyarakat sekitar sudah berdamai. ketika kesultanan Banten berdiri pada tahun 1526, Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tien pergi ke Cirebon untuk melanjutkan tugasnya dikerajaan Cirebon, dari pernikahannya Putri Ong Tien dikaruniai seorang putera yang pada usia 9 bulan meninggal.
Bangunan Vihara pun sempat dipindahkan pada sekitar tahun 1774 di kampung Pamarican hingga saat ini, karena sempat terjadi kebakaran. Vihara sendiri pernah mengalami kebakaran kembali pada tahun 2009 dimana saat itu hanya bagian dalam yang terbakar, sehingga mendapatkan renovasi ulang seperti yang kita lihat bangunannya saat ini.
Vihara Avalokitesvara menjadikan altar Dewi kwan Im sebagai altar utamanya. Di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im yang berusia hampir sama dengan bangunan vihara tersebut. Selain itu di sisi samping kanan dan kiri terdapat patung dewa-dewa yang berjumlah 16 dan tiang batu yang berukir naga.
Gerbang dengan atap berhiaskan dua naga memperebutkan mustika sang penerang (matahari) menyambut pengunjung di pintu masuk sebelum pengunjung masuk lebih ke dalam vihara yang memiliki nama lain kelentang Tri Darma ini. Sebutan Klenteng Tri Darma diberikan karena vihara ini melayani tiga kepercayaan umat sekaligus. Yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha. Walaupun diperuntukan bagi 3 umat kepercayaan namun bagi wisatawan yang beragama lain sangat diperbolehkan untuk berkunjung dan melihat bangunan Vihara Tersebut, dengan cara meminta izin terlebih dahulu dan tidak menggangu orang yang sedang melakukan ibadah.

Penggagasan Gerakan Rakyat Cilegon 1888

Haji Marjuki : Aktivis dan Penggagas Geger Cilegon Riwayat Hidup Haji Marjuki Marjuki adalah salah satu aktivis Geger Cilegon y...