Sabtu, 21 Oktober 2017

Kartini : dari tinta pena, terbitlah terang



Goresan Pena Kartini
Oleh
AMI Nazzam

Kau adalah wanita
Hidup dengan kesedihan dan penderitaan
Terkekang oleh rantai kehidupan
Terpenjara dalam sangkar
Adat istiadat menekan hati para wanita
Sehingga wanita tak berdaya
Kartini…. kau hadir dengan sejuta cita dan cinta
Kau coba membuka cakrawala kau wanita
Mencoba melawan adat
Tak perduli nyawa sebagai taruhan
Kau coba membuka sangkar kaum wanita
dari ketidak adilan Adat Jawa
Goresan pena menjadi sepucuk surat cinta
Melahirkan sebuah kata emansipasi wanita
Kartini…goresan penamu menaikan derajat wanita
Sehingga wanita bebas dari cengkraman kebodohan
Walaupun kau tak berperang dengan senjata
Namun pena telah membuktikan semua
Sekarang wanita tak bisa diremehkan
Mereka mampu bersaing dengan kaum lelaki
Tiada cinta selain kemerdekaan
Goresan pena telah membuktikan
Emansipasi menjadi pegangan
Kartini.. Namamu harum di dalam genggaman
Sebagai salah satu pahlawan wanita Nasional

Senin, 16 Oktober 2017

K.H Sochari Pipitan



KIAI HAJI SOCHARI (1889-1969)


Kiai Haji Sochari adalah seorang pejuang kemerdekaan dan merupakan santri angkatan pertama yang dididik langsung oleh Brigjend. Kiai Haji Syam’un, ia lahir tahun 1889 di Desa Pipitan, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Ayah Kiai Haji Sohari bernama Kiai Haji Aliyudin atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Haji Ali, merupakan pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Salafiyyah Darussalam yang didirikan pada tahun 1917 di Pipitan. Sedangkan ibunya bernama Nyai Marni.
Dalam garis keluarga posisi Kiai Haji Sochari merupakan anak nomor ke-3 dari 7 bersaudara dan ia memiliki 6 saudara tiri dari istri kedua ayahnya, bernama Nyai Marwi. Berikut adalah daftar nama saudara Kiai Haji Sochari dari garis ibu kandung dan ibu tirinya:

Nyai Marni                                           Nyai Marwi
1.      Abdul Malik                                       1. Abdul Mu’in
2.      Haji Arsyad                                         2. Kiai Halimi
3.      Kiai Haji Sochari                                 3. Abdul Halim
4.      Haji Abdul Haq                                   4. Wirgani
5.      Abdussyukur                                        5. Nyai Syu’ara
6.      Haji A Hadi                                          6. Nyai Tura
7.      Kiai Haji Mujtaba Ali   
Pada masa mudanya Kiai Haji Sochari mendapatkan pendidikan agama, tauhid, aqidah dan akhlaq dari kedua orang tuanya. Selain itu dalam perkembangannya ia belajar ke beberapa pesantren yang ada di Banten, diantaranya di daerah Laes arah Carenang, pesantren di daerah Cikaduen, dan belajar di Madrasah Al-khairiyah Citangkil sebagai murid angkatan pertama Kiai Haji Sjam’un. 
Setelah Brigjend. Kiai Haji Syam’un pergi haji pada tahun 1923, Kiai Haji Sochari kembali ke kampung halamannya untuk membantu ayahnya di pesantren. Beliau juga mendirikan Madrasah Al-Khairiyah di Desa Pipitan yang merupakan cabang ketiga Al-Khairiyah setelah Citangkil dan Delingseng. Di samping sebagai pengasuh pesantren, Kiai Haji Sochari juga dikenal sebagai mubalig yang ulung dalam berpidato. Sehingga setiap kali memberikan ceramah, pendengarnya menyimak dengan antusias dan seksama. Gaya bicaranya yang sejuk diselingi guyonan yang kocak, ceramahnya dapat menghibur semua kalangan.
Kelebihan lain dari Kiai Haji Sochari adalah keluhuran ahlaknya. Dengan tutur kata lembut Kiai Haji Sochari dikenal sebagai sosok ulama yang pandai bergaul, Dalam bergaul ia tidak pernah memandang latar belakang seseorang. wajar saja jika Ia bisa menjalin hubungan baik dengan kelompok NU, Muhamadiyah, Jawara bahkan PKI sekalipun.
Dalam Rumah tangganya Kiai Haji Sochari menikah sebanyak 3 kali dan dikaruniai 14 orang anak, berikut daftar nama istri dan anak Kiai Haji Sochari :
  1. Nyai Suti (Pipitan)
1.      Sayuti
2.      Mansur
3.      Asiyah
4.      Syihabbuddim
5.      Abu darda
6.      Ma’mun

  1. Ibu Sabihah
1.      Bahrul ulum
2.      Syauqi
3.      Maryam
4.      Shidqi
5.      Yayah
6.      Enong malihah
7.      Marzuki
C.     Ibu Duriyah (Ampel)
1.      K. H. Sanggiti
Kiai Haji Sochari memiliki kiprah penting di masyarakat. Selain mengabdikan diri pada dunia pendidikan, ia juga menjadi penerus ayahnya dalam mengelola pesantren. Sepulangnya dari menuntut ilmu di Al-Khairiyah Citangkil ia mulai memberikan sentuhan pembaharuan bagi pesantren Darussalam, yang dahulu hanyalah sebuah pesantren salafiyah berubah hingga memiliki beberapa lembaga pendidikan. Yakni, berupa Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Pada tahun 1931 Pesantren Darussalam bergabung dengan Al-Khairiyah. Hal ini tak lepas dari peran yang dimainkan Kiai Haji Sochari untuk memajukan dunia pendidikan Islam di tanah Banten.
 Pada tahun 1945, pasca kemerdekaan, karena keluhuran akhlaknya dan kecerdasan sosialnya, Kiai Haji Sochari diangkat menjadi wedana Ciruas oleh gurunya Kiai Haji Syam’un selaku Bupati Serang dan ia menjabat sampai pada tahun 1949. Ketika menjabat sebagai wedana, Kiai Haji Sochari sangat dekat dengan rakyat. Setiap lebaran tiba, Kiai kelahiran 1889 ini selalu membelikan kebutuhan untuk masyarakat, mulai dari pakaian hingga makanan. Bahkan sebagai wedana beliau mendapatkan delman sebagai inventaris, selain kendaraan tersebut dipakai untuk keperluan pemerintah, beliau juga tidak pernah sungkan-sungkan mengajak rakyatnya naik jika berpapasan di tengah jalan. Sebagai ulama sekaligus pemimpin, Kebijakan-kebijakan yang ia ambil selalu memperhatikan aspirasi masyarakat bawah. Hal ini dilakukan karena ia sangat mendambakan kepemimpinan Rasulullah dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada peristiwa agresi militer Belanda yang ke-2 Kiai Haji Sochari terlibat langsung dalam revolusi fisik perang melawan penjajah Belanda dengan cara bergerilya dan bertahan di Kampung Simanjangan Gunung, Taktakan. Dalam aksinya Kiai Haji Sochari selalu menyempatkan berdakwah, yang isinya ditunjukkan untuk mengobarkan semangat jihad melawan kaum kafir. Karena ceramahnya ini, ia dianggap ulama berbahaya dan menjadi buronan yang paling dicari pasukan Belanda. Dalam pencariannya itu  Kiai Haji Sochari tak kunjung berhasil ditangkap, dan sebagai gantinya Kiai Haji Ali ditangkap oleh pasukan Belanda, kemudian dieksekusi mati di kali Bedeng Ciruas dengan cara ditembak.
Setelah kematian ayahnya, Kiai Haji Sochari lah yang mengurus Yayasan sampai meninggalnya pada tahun 1969.
Sumber
Wawancara dengan Drs. Ofa Mustofa, cucu K.H. Sochari, pada 25 September 2017 di Pipitan.

Minggu, 15 Oktober 2017

Eksistensi Mantra Banten



MANTRA BANTEN


Citra Banten sebagai wilayah religius dan sebagai pusat praktik ilmu-ilmu gaib (magic) sudah dikenal luas bukan hanya oleh masyarakat Banten pada khususnya, tapi juga oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, Martin van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia menyebut Banten sebagai ‘a heaven of the occult sciences (tempat bersemayamnya ilmu-ilmu ghaib). Debus, ilmu dan praktik kekebalan atas api dan benda-benda tajam, adalah contoh paling kongkret dari tradisi magic di Banten yang sudah ada sejak zaman kesultanan sampai saat ini. para guru atau syekh debus dalam pertunjukannya melibatkan seluruh rangkaian praktek-praktek magic. Teknik-teknik yang mereka gunakan menurut Martin Van Bruinessen adalah suatu capuran antara magic islam dan magic pra-islam, formula-formula yang digunakan memasukan do’a-do’a Islam berbahasa Arab di samping formula-formula magic berbahasa Jawa dan Sunda.
Dalam konteks budaya Banten, mantra (magical formula) memiliki fungsi yang sangat penting bagi individu-individu yang memiliki kepercayaan dan keyakinan tentang kekuatan gaib di dalam mantra tersebut. Sehingga ketika seseorang mengamalkan mantra atau do’a-do’a tersebut akan ada kekuatan tersendiri yang masuk ke dalam tubuh manusia itu sendiri.
Secara etimologis, kata mantra berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata man/manas dan tra/tri yang berarti berfikir atau melindungi; melindungi pikiran dari gangguan jahat. Dari pengertian ini, kita bisa mengetahui bahwa mantra lebih bernilai atau bermakna positif, bukan untuk kejahatan. Menurut Haroen daod, berpendapat bahwa kata ‘mantera’ berasal daripada bahasa sanskrit, yaitu ‘mantra’ atau ‘manir’ yang merujuk pada ucapan-ucapan kudus dalam kitab suci weda, mengandung unsur magis dan jampi serapah. Mantra menjadi amalan yang melingkupi seluruh hidup masyarakat hindu, terutama untuk tujuan kebaikan.
Namun demikian, bukan berarti bahwa mantra bermula dari kepercayaan agama Hindu yang telah diakomodasi dan mengalami asimilasi dan akulturasi pada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Karena berdasarkan hasil dari beberapa penelitian ahli antropologi dan sosiologi, keberadaan mantra sudah ada sejak zaman animisme dan menjadi bagian dari aktivitas religius masyarakat perimitif.
Sedangkan menurut Hartarta, ada dua makna yang terkandung dalam mantra, yakni mantra dalam makna yang tertinggi dan makna yang lebih rendah. Dalam makna yang lebih rendah, mantra diartikan sebagai rumusan gaib untuk melepaskan berbagai kesulitan atau memenuhi berbagai macam keinginan duniawi, tergantung pada motif pengucapan mantra tersebut, sebagaimana yang banyak ditemukan di dalam peraktik. Sedangkan mantra dalam makna yang lebih tinggi pada umumnya diartikan sebagai buah kata atau suku kata yang sangat kuat, yang di dengar oleh seseorang yang mengucapkannya.
Di zaman yang serba berkembang dan kemajuan teknologi saat ini, keberadaan mantra masih eksis dikalangan masyarakat Banten, berbagai ritual dan amalan sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang menjadikan mantra masih dianggap sebagai kepercayaan yang sangat penting hingga saat ini. Meskipun sebagian orang sudah tidak mengamalkan mantra dan menggantinya dengan bacaan do'a-do'a yang bersumber dari ayat-ayat al-Qur'an, namun penggunaan mantra masih tetap di percaya misalnya masih ada masyarakat yang membawa anaknya ke orang pintar dan dukun ketika mau disapih (berhenti menyusui ASI), memandikan pusaka, menanam padi, dan sebagainya.
 Manta tidak bisa dihilangkan begitu saja dari memori pikiran manusia, karena mantra sejatinya telah lama melekat pada kehidupan sosial mereka, sehingga walaupun dunia telah berubah dari tradisional menjadi modern, namun mantra masih tetap bertahan sampai saat ini. Karena mantra termasuk kedalam tradisi lisan. Mantra Banten merupakan kepercayaan lokal dan tradisi agama. Oleh karena itu bagi masyarakat Banten, mantra dianggap sebagai salah satu kebudayaan yang berkembang secara turun-temurun oleh masyarakat lokal melalui lisan, yang hingga saat ini masih selalu dipakai pada acara-acara ritual yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Banten sehingga eksistensinya masih dibutuhkan oleh masyarakat Banten sampai saat ini.

Penggagasan Gerakan Rakyat Cilegon 1888

Haji Marjuki : Aktivis dan Penggagas Geger Cilegon Riwayat Hidup Haji Marjuki Marjuki adalah salah satu aktivis Geger Cilegon y...