Kamis, 07 Desember 2017

Kera Mengaji



Tumenggung Al – Wajabir


Dahulu di kota Jakarta terdapat seorang kiai yang terkenal  dengan kepandaiannya yang bernama kiai Alang, ia adalah seorang guru mengaji kanak-kanak. Kepandaiannya ini sampai terdengar ke telinga Pangeran Raja Jakatra, sehingga pangeran menyuruh kepada pengawalnya untuk membawa kiai Alang menghadap ke Istana. Lalu Raja Jakatra berkata:
“Hai,,,Kiai Alang, aku dengar bahwa kau sudah masyhur karena pandai mengajar anak-anak mengaji”.
“Maafkah hamba pangeran, saya hanyalah manusia yang dhaif”. Ujar kiai Alang
“Jangan suka merendah kau kiai Alang, sekarang saya perintahkan kamu untuk mengajarkan kera peliharaanku ini untuk bisa mengaji, kalau kau tidak mengajarkannya mengaji sampai hatam sebuah kitab, maka lehermu akan aku penggal”. Balas Raja Jakatra.
“ti..tidak mungkin bisa pangeran”. Ki Alang dengan nada ketakutan
“kau coba saja dulu, saya kasih waktu selama 4 bulan, jika dalam waktu itu belum juga pintar kera peliharaanku itu maka tidak ada ampun lagi bagimu”. Ujar pangeran.
Kemudian kiai Alangpun berjalan pulang membawa kera dengan perasaan dukacita, memikirkan apakah dia sanggup untuk memenuhi permintaan sang Raja yang sangat mustahil untuk dilakukan. Sesampainya di rumahnya kiai Alang duduk dan menangis, lalu sang istri melihat suaminya yang sedang menangis di teras rumah, lalu berkata :
“Wahai suamiku, mengapa kamu menangis? Kalau boleh saya tahu ada masalah apa, biarkan aku jadi penawar sedihmu, suamiku”.
“Wahai istriku, pastilah kamu sependapat denganku mengenai hal ini, akan tetapi tidak ada seorangpun yang bisa membantuku mengenai masalah yang sedang aku hadapi saat ini, orang yang sudah belajar dan memiliki banyak ilmupun tidak akan dapat menolongku. Karena ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan sembarangan. Raja jakatra meminta aku untuk mengajari kera yang aku bawa ini mengaji kitab sampai khatam. Ujar Kiai Alang dengan nada pesimis.
“Wahai suamiku, apakah raja Jakatra meminta kera itu untuk berbicara” sambil melihat kewajah suaminya yang sedang bersedih.
“Tidak” saut suaminya
“kalau begitu tidaklah susah, jikalau hanya untuk mengajarkannya mengaji, berapa lama kiai diberi waktu untuk mengajari kera itu”.
“Benarkah istriku, aku diberikan waktu 4 bulan” sautnya dengan tatapan serius.
Lalu dari percakapan itu, keesokan harinya, kiai Alang mulai mengajari kera itu untuk mempelajari satu kitab yang diambil oleh kiai Alang, kemudian dari setiap baris kitab itu dengan sebutir nasi, kemudian kera disuruh mengambil makanan itu dari atas ke bawah, seperti seseorang yang mengaji menunjuk dengan jarinya dan apabila si kera itu salah mengambil makanan itu maka kiai Alang akan memukulnya menggunakan rotan. Kiai Alang mengajarkannya selama 4 bulan lamanya.
Setelah itu, tibalah waktunya kiai Alang untuk menghadap sang raja Jakatra yang sedang duduk di singgasana bersama para mentri dan masyarakat. Para mentri dan semua orang yang berada di Istana dibuat tertawa dengan kedatangan kiai Alang yang membawa kera peliharaan raja Jakatra. Kemudian raja meminta kera itu untuk mengaji.
Dengan tenangnya kiai Alang membuka kitab yang biasa kera itu pelajari selama 4 bulan, sehingga ketika kera itu memulai untuk mengaji satu kitab itu, kera itu mulai membuka satu demi satu halaman kitab dengan menggunakan tangannya dan mulutnya bergerak-gerak layaknya seorang yang sedang mengaji, sampai akhirnya kera itu selesai membaca satu kitab.
“Kenapa kera itu tidak terdengar suaranya?” ujar raja Jakatra dengan agak kesal.
“Maafkan, hamba tuan, bukankah raja hanya menyuruh aku untuk mengajarkan kera itu mengaji saja, dan raja tidak menyuruh untuk mengajarkan kera itu untuk berbicara”. Ujar Kiai Alang sambil bersujud dihadapan raja.
“Jikalau tuan ingin meminta saya untuk mengajarkan kera ini berkata-kata, maka izinkan saya meminta waktu selama 30 tahun lagi. Maafkan hamba sesungguhnya diri ini masih bodoh dan jauh dari kata pandai.” Ujar Kiai Alang
Kemudian sang raja mengakui kepandaian yang dimiliki oleh kiai Alang, sehingga di depan para mentri dan masyarakat yang melihat di dalam istana itu, raja mengumumkan bahwa kiai Alang dijadikan sebagai Tumenggung Al-Wajir karena kepandaian dan kecerdasan yang kiai Alang. Dan akhirnya kiai Alang terbebas dari hukuman dan menjadi Tumenggung di kerajaan Jakatra.
  Pesan : Jikalau kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu, maka ilmu itu akan bersatuh dengan tubuh kita, kerja keras, tekun dan kesabaran adalah kunci dari sebuah keberhasilan, apa yang diceritakan kisah tumenggung diatas kita bisa tahu tentang kesabaran dan ketekunan yang dimiliki oleh kiai Alang untuk mengajar ngaji kera itu sehingga kera itu bisa mengaji. apabila dalam kehidupan kita mencari ilmu itu ikhlas dan tekun maka ilmu senantiasa hadir dalam diri kita,


1 komentar:

Penggagasan Gerakan Rakyat Cilegon 1888

Haji Marjuki : Aktivis dan Penggagas Geger Cilegon Riwayat Hidup Haji Marjuki Marjuki adalah salah satu aktivis Geger Cilegon y...